Pelaksanaan NAYS Social Projects (5/11) (Dok. NAYS)
Minimnya akses terhadap fasilitas publik di daerah-daerah tertinggal di Indonesia memotivasi mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta dalam mendirikan National Youth Inspiration (NAYS) sebagai wadah bagi generasi muda agar dapat berkontribusi memberdayakan daerah-daerah tersebut.
Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2018 mencatat ada sebanyak 14.461 desa berstatus tertinggal. Angka ini mencapai 19,17 persen dari total jumlah desa yang ada di Indonesia. Berkaca dari data tersebut, NAYS berupaya membantu pemberdayaan daerah tertinggal melalui program NAYS Social Projects. Di gelombang pertama, NAYS Social Projects telah menerjunkan relawan ke Labuan Bajo untuk periode 5-11 November 2018 serta Bulukumba pada 2-8 Desember 2018 lalu.
“NAYS Social Projects adalah pengabdian pemberdayaan di empat bidang, yaitu ekonomi, lingkungan, pendidikan, dan kesehatan di daerah luar Jawa yang masih terisolir. Harapannya, selain berusaha menularkan ilmu yang kita miliki, pun membuka peluang bagi teman-teman untuk mengetahui bahwa ternyata masih ada masyarakat dengan keadaan seperti itu,” kata Ghozi Fawwaz Atstsaqofi (21), perwakilan NAYS saat diwawancarai oleh Wargajogja.net, Minggu (3/3).
Ghozi menambahkan, NAYS Social Projects menyesuaikan kebutuhan serta karakteristik daerah yang bersangkutan dan program tersebut sifatnya berkelanjutan. Sebelum menerjunkan relawan, tim NAYS Social Projects melakukan survei dengan dibantu oleh kepala desa. Dari hasil survei tersebut, akan diketahui program apa saja yang sesuai untuk dikembangkan. Meskipun relawan NAYS hanya memiliki waktu satu minggu untuk melaksanakan program, namun bukan berarti setelah mereka kembali ke daerah asal, program tersebut akan berhenti begitu saja. NAYS menjamin setiap program akan senantiasa dipantau hasilnya dengan bantuan perangkat desa terkait.
“Di Labuan Bajo dan Bulukumba, kebanyakan masyarakat masih minim keterampilan. Mayoritas dari mereka belum mampu mengelola lahan dengan baik dan justru menjualnya pada orang luar, sedangkan mereka sendiri justru bekerja membuat batu bata, genting, bahkan bekerja di tambang yang notabene milik warga negara asing. Pekerjaan tambang ini sampai mencemari sungai yang ada di desa tersebut. Nah, kami datang salah satunya untuk membantu warga dalam mengatasi permasalahan tersebut, seperti mengadakan pelatihan, sosialisasi, dan lain-lain,” ungkap Ghozi ketika ditanya mengenai program yang telah dilaksanakan dalam NAYS Social Projects gelombang pertama.
Sri Baruati, mantan pengajar independen yang pernah bertugas di Desa Pamulihan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes juga menuturkan bahwa memang tidak mudah untuk menciptakan perubahan di sebuah daerah tertinggal. Tantangan bukan semata karena akses geografis yang sulit, namun juga kurang terbukanya pola pikir masyarakat untuk menerima hal-hal baru. Sri juga mengacungi jempol bagi mahasiswa-mahasiswa yang bersedia untuk turun langsung ke lapangan demi memberdayakan masyarakat daerah tertinggal.
“Pada zaman dahulu, belum begitu banyak gerakan-gerakan sosial yang diinisiasi mahasiswa. Masyarakat masih kurang terbuka dengan orang asing, jadi pengajar-pengajar seperti kami ini mengalami tantangan yang cukup berat dalam mengenalkan pendidikan. Kalau untuk sosialisasi pertanian dan semacamnya, saya kira jauh lebih mudah diterima oleh mereka karena masyarakat kita kan mayoritas bekerja di sektor agraris. Tapi kalau pendidikan, beda lagi ceritanya. Itu tantangan yang menurut saya harus dihadapi dengan keilmuan yang kita punya. Saya salut dengan mahasiswa sekarang yang sudah jauh lebih berkembang pola pikirnya,” ujar Sri ketika diwawancarai via telepon, Sabtu (6/4).
Keterlibatan mahasiswa dalam pemberdayaan daerah tertinggal merupakan langkah awal bagi generasi muda untuk mengamati secara langsung kondisi riil proses pembangunan di Indonesia. Pengalaman tersebut akan berharga ketika nantinya mahasiswa ingin mengaplikasikan ilmu yang didapatkan selama menempuh kuliah. Kendati banyak tantangan yang dihadapi, namun di situlah pengetahuan mahasiswa untuk memecahkan masalah diuji. Muhammad Raihan (20), salah seorang mahasiswa kluster sosial humaniora Universitas Gadjah Mada mengungkapkan apresiasinya terhadap program berorientasi sosial tersebut.
“Penting bagi mahasiswa untuk terjun dan melihat langsung bagaimana kondisi saudara-saudara kita yang masih minim fasilitas. Mahasiswa harus mau berbaur dengan masyarakat, jangan hanya punya pikiran setelah lulus langsung mencari pekerjaan bergengsi di kota besar. Menurut saya, hal-hal seperti ketidakmerataan pembangunan inilah yang lebih mendesak untuk kita pikirkan. Kepekaan terhadap kondisi masyarakat bisa kita pupuk mulai sekarang, salah satunya dengan mengikuti program pemberdayaan tertinggal oleh mahasiswa. Dengan begitu, kita benar-benar memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Jadi bukan hanya kuliah untuk memintarkan diri sendiri, tapi juga orang-orang di sekeliling kita,” ujarnya. (*)