Tak Hanya Ponorogo, Yogya juga Punya Reog!

Reog Prajurit: Kesenian dari Putat, Patuk, Gunungkidul, memeriahkan pentas kesenian tradisional di Alun-Alun Sewandanan, Pura Pakualaman, Yogya.
Reog Prajurit: Kesenian dari Putat, Patuk, Gunungkidul, memeriahkan pentas kesenian tradisional di Alun-Alun Sewandanan, Pura Pakualaman, Yogya.

oleh Panggih Prabowo

Gunungkidul memiliki keragaman seni tradisi kerakyatan, salah satunya adalah kesenian Reog. Berbeda dengan Reog Ponorogo, Reog di Gunungkidul ini, yang telah ada sejak 1918, mengangkat nilai-nilai keprajuritan.

Salah satu paguyuban reog di Gunungkidul adalah Reog Budaya Manunggal di Desa Batur, Putat, Patuk. Sardi, ketua paguyuban, mengungkapkan bahwa kesenian ini bercerita terutama tentang semangat dan filosofi yang dimiliki setiap prajurit pada waktu itu. “Kesenian ini memang berbeda dengan yang ada di Ponorogo. Ini karena sesepuh kita dulu menganggap keprajuritan juga reog. Kesenian ini menonjolkan bentuk gerak berbaris dan latihan peperangan yang dipimpin Manggala atau komandan,” kata Sardi selaku ketua paguyuban Reog Budaya Manunggal saat pementasan di Alun-Alun Sewandanan, Pakualaman (5/4).

Ciri khas lainnya adalah tarian ini menampilkan empat macam bregada atau prajurit, yakni Manggolo Yudo Rekso, Jogo Boyo, Sekar Arum dan Bregada Putro Kencono. Semua prajurit ini membawa pedang, tombak, terkadang juga perisai dan busur panah. Melihat pementasan ini seakan ada nilai topeng panji. Ini terlihat dari beberapa tokoh yang memiliki kemi-ripan dengan topeng panji. Sardi mengungkapkan Reog khas Patuk ini mengadaptasi beberapa cerita panji.

“Dari beberapa sesepuh mengatakan ada unsur panji meski tidak kuat. Namun untuk pementasan ini kami sesuaikan dengan dinamika masyarakat saat ini,” ungkap Sardi.

Sementara itu, Tugimin sebagai penasihat paguyuban menilai, perubahan tampilan reog sangatlah penting. Perubahan yang terlihat adalah gerakan tari yang lebih meriah dan ditanggalkannya jaran kepang atau kuda lumping.

Lelaki yang juga menjabat dukuh ini berharap dengan kemasan ini kelestarian bisa terjaga. Apalagi saat ini paguyuban Budaya Manunggal didominasi generasi muda, yang menurutnya adalah angin segar dalam upaya pelestarian kesenian tradisi. Nilai yang dipertahankan hingga saat ini adalah menjaga keguyuban. Terlebih kesenian ini kerap dipentaskan dalam acara desa.

“Pementasan kerap dilakukan saat merti desa di kampung. Untuk menarik generasi muda, pertunjukan kami kemas dengan gaya yang berbeda. Tujuannya untuk melahirkan rasa suka terlebih dahulu. Selanjutnya kami tanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian ini,” kata Tugimin.