Upaya SURVIVE!Garage Menyatu dengan Masyarakat melalui Kesenian

Seorang pengunjung menikmati perjalanan karya SURVIVE!Garage selama sepuluh tahun yang dipajang di studio seni mereka yang terletak di Kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta (27/10/2019).

Oleh: Andara Rose

Berdiri selama sepuluh tahun, SURVIVE!Garage memiliki banyak kegiatan seni yang bertujuan mengembangkan kreativitas anggota seperti Free Wall Project, SURVIVE!Day, Program Ini Itu, Mural Kampung, hingga Kelas Uyel-Uyelan. Uniknya, Mural Kampung dan Kelas Uyel-Uyelan merupakan bentuk upaya SURVIVE!Garage untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar melalui seni.

Pada awal mula pendiriannya, Bayu Widodo, pendiri SURVIVE!Garage, berpikir bahwa kebutuhan ruang seni alternatif sangat dibutuhkan. Sebab, pada waktu itu, ruang seni alternatif yang berfungsi mendukung aktivitas seniman muda untuk berekspresi sangat minim.

Survive dalam SURVIVE!Garage itu bukan sekadar nama tetapi juga semangat bertahan dengan pilihan hidup sebagai seniman,” katanya.

Semangat bertahan tersebut diwujudkan dengan melakukan self-funding sejak pertama kali komunitas ini lahir. Bayu mengatakan, SURVIVE!Garage menggerakkan perputaran roda ekonominya sesuai dengan kapasitas dan kreativitas anggota, yang saat ini berjumlah lima belas orang.

“Kami membuat merchandise, membuat karya-karya kecil yang bisa dibeli dengan harga terjangkau, kadang juga memberikan workshop ke sekolah apabila ada yang bersedia,” kata Bayu.

SURVIVE!Garage mempunyai banyak kegiatan menarik. Salah satunya adalah Free Wall Project yang diadakan tiga bulan sekali. Kegiatan itu dilaksanakan sebagai ruang bergaya dan kolaborasi dengan dinding ataupun instalasi sebagai medianya. Selain itu, terdapat pula kegiatan rutin untuk memperingati hari jadi komunitas setiap tahun di bulan Oktober yaitu SURVIVE!Day. “Kami memaknai setiap hari di bulan Oktober itu sebagai hari kami nongkrong, ngobrol, diskusi, introspeksi, dan membangun ide-ide baru,” kata Bayu.

Tiga peserta workshop “Membuat Sabun” sesi kedua menunggu pemateri menyiapkan bahan. Workshop ini merupakan salah satu dari rangkaian acara SURVIVE!Day tahun ini yang dilaksanakan di studio seni mereka. Terlihat pula karya dari program Free Wall Project dan Kelas Uyel-Uyelan yang dipajang sebagai bentuk apresiasi kepada pembuatnya (27/10/2019).

Selain kegiatan berbentuk karya, terdapat pula Ini Itu, program ruang diskusi dan berbagi cerita yang kerap dilaksanakan di studio seni mereka. Pemateri diskusi biasanya bercerita mengenai strategi komunitasnya agar tetap bertahan. “Pengalaman atau perjalanan siapapun yang bagi kami menarik untuk diceritakan akan menjadi nutrisi dan wawasan baru bagi kami,” kata Bayu.

Hal inilah yang menjadi alasan Pebri Prakoso, salah satu anggota yang baru bergabung. Pebri merasa betah karena terdapat obrolan beragam dan menarik yang memberikannya pengetahuan baru. Ia juga merasa iklim kekeluargaan yang selalu dibangun membuat ia menganggap komunitas ini sebagai rumah kedua. Waktu pertama kali bergabung dengan komunitas ini, ia mengaku sempat gugup dalam proses adaptasinya. “Uniknya, saya malah sembuh dari ketakutan itu di tempat ini juga,” kata Pebri.

Pebri menjelaskan narasi karya anggota SURVIVE!Garage yang dipajang untuk keperluan pameran. (27/10/2019)

Selain kegiatan internal, SURVIVE!Garage juga mengadakan kolaborasi bertajuk Mural Kampung bersama warga Kampung Nitiprayan. “Teman-teman akan menggambar mural di dinding warga yang bersedia,” kata Bayu. Kegiatan ini dilaksanakan untuk merespon permasalahan kampung. SURVIVE!Garage juga mengadakan Kelas Uyel-Uyelan, yaitu kelas menyalurkan ilmu kesenian SURVIVE!Garage dengan mengajari anak-anak kampung menggambar.

Bicara mengenai kegiatan di masyarakat, Bayu mengatakan, seorang seniman harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat sebagai ruang seninya. “Jadi kami harus melihat fungsi ruang yang ada, tidak hanya sekadar membuat karya tetapi juga harus mempunyai relasi terhadap orang-orangnya,” kata Bayu.

Ia menambahkan, SURVIVE!Garage juga berusaha bersikap terbuka dengan masyarakat. Ia tidak ingin SURVIVE!Garage menjadi kelompok eksklusif yang berkutat pada seni dan pikiran sendiri. “Maka dari itu, kami berusaha menyatu dengan masyarakat dengan mengusung konsep jujur dan bertanggung jawab yang mana itu penting dalam kesenian,” kata Bayu.

Salah satu anggota SURVIVE!Garage sedang melukis gerobak yang akan digunakan untuk patrol bersama warga. (27/10/2019)

Rahmat Affandi, salah satu anggota SURVIVE!Garage merespon pemikiran ini dengan menginisiasi zine tentang sejarah Kampung Nitiprayan. “Kami kan tinggal di sini, maka sudah seharusnya kami tahu hal-hal yang terjadi di sini,” kata Rahmat.

Awalnya, Rahmat membuat zine tersebut untuk menceritakan kegiatan kesenian kampung di bawah naungan kelompok seni Nitibudoyo yang cukup aktif. Namun, dari hasil wawancaranya dengan sesepuh kampung, ia justru menemukan sejarah bahwa Kampung Nitiprayan adalah kampung seniman. “Pada masa kemerdekaan, ternyata banyak seniman berasal dari kampung Nitiprayan, mulai dari pelukis hingga penari,” kata Rahmat.

Setelah merampungkan wawancara, SURVIVE!Garage berinisiatif untuk berziarah ke leluhur Nitiprayan dengan salah satu sesepuh warga, Slamet (paling kanan).

Penemuan menggembirakan tersebut hanya satu dari sekian perjuangan SURVIVE!Garage untuk bertahan. Pada tahun 2016, saat studio seni masih berada di Bugisan, SURVIVE!Garage pernah mendapat serangan dari ormas. Tuduhan bahwa mereka mendukung kaum LGBT membuat mereka diusir dari kampung tersebut. Bayu menyayangkan pengusiran tersebut karena seni sebagai ruang ekspresi yang direpresi justru menyebabkan kekhawatiran terhadap terbukanya ruang demokrasi.

Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat SURVIVE!Garage untuk terus berkarya. “Itu cukup menjadi batu loncatan bagi semangat kami untuk terus melawan dengan seni, bukan kekerasan,” kata Bayu. SURVIVE!Garage akhirnya pindah ke Kampung Nitiprayan yang beruntungnya, memiliki warga yang lebih terbuka pemikirannya.

Run, salah satu warga Nitiprayan mengakui keberadaan SURVIVE!Garage yang memberikan energi positif. “Saya melihat mereka berusaha berkiprah seperti itu, tidak membuat keruh lingkungan, mereka sadar dengan masyarakat sehingga melakukan pendekatan,” kata Run.

Selain itu, ia juga menghargai upaya SURVIVE!Garage untuk memperkenalkan kesenian sejak dini kepada anak-anak. “Menurut saya itu sangat menguntungkan karena dapat menumbuhkan generasi penerus seniman,” kata Run.

Ia juga mengapresiasi upaya SURVIVE!Garage dalam mengulik sejarah seniman kampung. “Saya sangat senang karena mereka peduli, kalau tidak ada yang mengulik, lalu warga bercerita ke siapa?” tanya Run retoris.

Slamet, salah satu warga NItiprayan, juga mengapresiasi hal tersebut karena bisa membuat warga mengetahui sejarahnya sendiri. Ia berharap SURVIVE!Garage tetap melanjutkan kegiatan positifnya. “Saling mendukung antara SURVIVE!Garage dan warga agar bisa menimbulkan kosok balen atau hubungan timbal balik yang baik,” kata Slamet.