oleh Lamia Putri
Pada 2014, Walikota telah mengeluarkan moratorium pendirian hotel sampai 2016. Moratorium itu diatur dalam Peraturan Walikota (Perwal) No. 77/2013. Namun, moratorium tersebut dinilai belum efektif mengendalikan pembangunan hotel sehingga diperlukan cara lain dalam aspek tata ruang.
Ketidakefektifan itu diungkapkan oleh Sigit Setiadi, Staff Perencanaan, Promosi, dan Pemasaran (P3) bahwa izin-izin yang masuk terlanjur disahkan sebelum adanya moratorium. Pembangunan hotel pun mau tidak mau tetap berlangsung sekalipun telah memasuki moratorium.
“Hotel-hotel yang memiliki banyak lantai tidak mungkin selesai hanya dalam waktu beberapa bulan. Jadi pembangunan masih terus berlangsung bagi hotel yang izinnya keluar sebelum 2014,” kata Sigit.
Berdasarkan keterangan dari Darsono, Kepala Seksi Pengembangan Kinerja Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, saat ini terdapat 104 pengajuan izin baru dan 78 di antaranya telah diterbitkan. Dari izin yang telah diterbitkan, tiga puluh di antaranya dalam proses pembangunan. Ia memaparkan bahwa sisanya akan ditangguhkan karena masih menunggu kelengkapan dokumen. “Kalau tidak dilengkapi akan ditolak,” kata Darsono.
Darsono sendiri menyikapi adanya dinamika pembangunan hotel yang terus terjadi sebagai kewajaran lantaran Yogyakarta adalah kota pariwisata. “Jasa akomodasi berupa hotel adalah bentuk konsekuensi dari perwujudan Yogyakarta sebagai kota pariwisata,” kata Darsono.
Mendukung pernyataan tersebut, Retno Widodo, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) UGM, mengakui bahwa pembangunan hotel di Yogyakarta memang perlu. Namun, ia menegaskan bahwa dalam pembangunan hotel harus ada optimalisasi. “Kita harus meninjau terlebih dahulu berapa banyak hotel yang dibutuhkan dan akan dibangun di mana?” jelasnya saat ditemui di kantor PWK.
Sigit pun mengakui bahwa pembangunan harus berdasarkan pemanfaatan tata ruang yang maksimal untuk kepentingan publik. Ia menjelaskan bahwa moratorium hanya bersifat sementara sementara pembangunan akan terus berjalan. Jadi, harus ada upaya lain yang lebih ketat dalam pembangunan hotel.
Retno pun menilai, pemerintah belum mengukur sejauh mana optimalisasi hotel di Yogyakarta. Menurutnya, diperlukan evaluasi berdasarkan kajian analitis yang sistematis terhadap laju pertumbuhan hotel terutama dalam hal pemanfaatan ruang. Ia menjelaskan, acuan pembangunan daerah yang berupa Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum mampu untuk mengendalikan hotel. “Peraturan tersebut terlalu makro,” jelasnya.
Untuk melihat secara lebih detail dari setiap kawasan, diperlukan Rancangan Detail Tara Ruang Kawasan (RDTRK). RDTRK tersebut adalah turunan RTRW yang lebih spesifik lagi mengatur tata ruang di wilayah kecamatan. “RDTRK ini mengatur setiap kawasan yang cakupannya lebih sempit dan detail. Misalnya saja RDRTK di Kecamatan Depok atau Pogung,” jelasnya.
Menyikapi maraknya pembangunan hotel, Retno menyarankan agar RDTRK segera menjadi Undang-Undang tingkat lokal dan indikator boleh tidaknya pembangunan hotel. Dalam hal ini, Retno menilai bahwa pengesahan RDTRK sebagai produk peraturan perundang-undangan daerah sangat mendesak.
Sementara itu pembangunan hotel, baik oleh masyarakat maupun swasta masih terus terjadi. Menurutnya, RDTRK akan menjadi acuan dalam arahan pembangunan kota, khususnya hotel yang baik. Sehingga harus segera disahkan legalitasnya. “Sebelum disahkan, tentunya RDTRK harus dibuat dengan analisis yang baik dan disosialiskan kepada masyarakat,” papar Retno.
Menanggapi pernyataan Retno, Darsono mengatakan bahwa RDTRK saat ini siap untuk diimplementasikan. Ia menjelaskan bahwa yang perlu dilakukan dalam penerapan RDTRK ini adalah sosialisasi kepada warga. “Proses penerapan sendiri akan kami lakukan mulai tanggal 1 April besok,” ujarnya saat ditemui pada Selasa (31/03).
Dalam penerapannya, Retno beranggapan bahwa pemerintah harus berperan sebagai pengawas. Selain itu, RDTRK harus berorientasi pada optimalitasi masyarakat publik. Analisis RDTRK harus dikaji lebih mendalam lagi dengan melakukan koordinasi dengan akademisi di bidang lain. “Semua harus terukur dalam pemanfaatan ruang. Jika ukurannya jelas, regenerasi atas pembangunan hotel bisa lebih teratur,” kata Retno.
Akan tetapi, Dambung Lamuara, Pengamat Tata Ruang dari Universitas Gajah Mada, mengaku pesimis bahwa perda dan perwal tersebut akan mampu diterapkan sebagaimana mestinya. Dambung menilai bahwa aturan tersebut hanya akan berlaku normatif semata. Pernyataan tersebut terlontar karena menurutnya selama ini dewan belum memberikan pengawasan yang maksimal terkait dengan penerapan perda. Salah satunya adalah pemberian izin pendirian hotel yang menempati bangunan-bangunan yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Komentar negatif terkait munculnya RDTRK ini juga ditanggapi oleh salah satu penggiat Warga Berdaya, Elanto Wijoyono, dalam twitternya. “Setelah 5 tahun RTRW, RDTRK baru terbit. Terlambat yang disengaja setelah kota hancur lebur,” katanya.