Kontroversi Tambak Udang Pantai Selatan Bantul

Salah satu tambak Udang Putih (Litopenaeus vannamei) yang dikelola Kelompok Desa Depok di pantai selatan Yogya. Tambak udang di atas baru memasuki hari ke-8 dari 100 hari siklus budidaya udang putih. (25/03/16)
Salah satu tambak Udang Putih (Litopenaeus vannamei) yang dikelola Kelompok Desa Depok di pantai selatan Yogya. Tambak udang di atas baru memasuki hari ke-8 dari 100 hari siklus budidaya udang putih. (25/03/16)

 

Oleh Ichsan Rachmadi Suharno

Meskipun Pemerintah Kabupaten Bantul meminta enam tambak udang berhenti beroperasi paling lambat Desember 2015, enam tambak udang putih di Pantai Parangtritis dan Pantai Depok itu masih terus beroperasi. Sejumlah warga memprotes keberadaan tambak udang karena merugikan pertanian mereka. 

Enam tambak udang ini berada di Pedukuhan Depok, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Bantul. Salah satu warga dan petani di Desa Parangtritis, Danun Setiowidodo (60) mengaku tidak pernah ada sosialisasi dari pihak pengelola tambak maupun Pemkab Bantul mengenai keberadaan tambak udang tersebut. Ia juga mengeluhkan dampaknya bagi hasil pertanian padi dan palawija di Desa Parangtritis.

“Sebelum ada tambak, hasilnya baik-baik saja. Sesudah itu padi, kacang, bawang merah jadi susah hidup,” kata Danun. Menurutnya panen yang rusak selama dua tahun terakhir ini salah satunya disebabkan oleh uap air payau yang berasal dari tambak udang.

Operasional tambak udang di pantai selatan Yogya sudah memasuki tahun ketiga. Saat ini enam tambak udang itu, yang masing-masing terdiri dari 4-6 petak, dikelola oleh Kelompok Desa Depok (KDD).

KDD merupakan kelompok beranggotakan 22 warga yang mengumpulkan dana bersama untuk membangun tambak udang di kawasan Pantai Depok. Salah seorang pendiri KDD, Sugito (57), menceritakan kronologi hingga tambak udang ini menjadi kontorversial.

Awalnya konflik muncul antara pihak KDD dan para petani Desa Parangtritis. Uap air payau yang diangkat oleh kincir air dari tambak ditengarai menjadi penyebab rusaknya hasil panen. Selain itu dikhawatirkan air payau yang berasal dari tambak akan merembes ke tanah dan merusak pengairan sawah dan pertanian lainnya. Permasalahan juga terjadi karena pembuangan limbah tambak ke laut dinilai merusak ekosistem dan meracuni ikan-ikan laut.

Mengenai dua permasalahan ini, Sugito mengklaim bahwa tambak udang KDD tidak merusak lingkungan. Setelah mendengar adanya kerusakan panen, ia meminta Dinas Pertanian untuk melakukan uji lab pada kandungan senyawa dalam tanah dan hasilnya nihil. Soal limbah buangan ke laut, ia juga menyatakan bahwa tiap tambak memiliki bak pengontrol yang mengendapkan kotoran pada air tambak sebelum disalurkan ke laut. Justru limbah bekas pakan dan kotoran udang yang dibuang ke laut membuat tangkapan ikan nelayan semakin banyak dan besar-besar.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) DIY, Halik Sandera (35) turut bersuara mengenai kontroversi ini. Ia berusaha menekankan kembali bahwa inti permasalahan keberadaan tambak udang yaitu terkait Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul.

“Hal yang dilihat pertama adalah terkait rencana tata ruang di sana. Khususnya Parangtritis, Depok, dan sekitarnya itu peruntukannya adalah pertanian dan pariwisata,” ujar Halik.

Tentang dampak ke lingkungan, Halik menepis pernyataan KDD yang mengklaim aktivitas tambak udang tidak merusak lingkungan. Menurutnya, uji lab kandungan senyawa pada tanah merupakan tindakan yang terlalu dini, padahal yang perlu diantisipasi adalah dampak langsung terpaan air payau pada tanaman pertanian. Untuk merusak tanah dibutuhkan akumulasi bertahun-tahun, sementara tambak udang baru beroperasi selama tiga tahun.

Adanya bak pengontrol juga tidak menjamin senyawa limbah benar-benar bersih. Sebab bak pengontrol hanya berfungsi sebagai pemisah endapan, sementara kandungan kimia dalam air limbah harus diuji secara ilmiah kemurniannya.

Perihal kontroversi keberadaan tambak udangnya di wilayah pertanian dan pariwisata, Sugito tidak mau ambil pusing. Ia yakin, bagaimanapun, tambak udang miliknya telah memberi manfaat yang besar pada perekonomian warga sekitar. “Warga yang protes itu karena cemburu tidak bisa ikut urunan (untuk mendirikan tambak). Dulu banyak yang menolak, tapi sekarang sudah banyak yang bergabung,” ujarnya.

Soal perizinan, Sugito mengaku sudah melapor kepada desa, camat, dan kabupaten. Bahkan ia mengklaim Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X telah mendukung budidaya tambak udang di pantai selatan Yogya.

“Sultan sudah mendukung. Anda tahu SCI, Shrimp Club Indonesia? Ketua SCI DIY adalah menantu Sultan, Pangeran Wironegoro,” tambahnya.

Ketika ditanya siapa pihak yang paling bertanggungjawab mengenai kontroversi ini, Halik menegaskan semua ada di tangan Pemkab Bantul. Pemda DIY hanya memiliki RTRW pada daerah strategis di Provinsi Yogyakarta, sementara yang memiliki RTRW detail hingga tiap kecamatan adalah Pemkab Bantul. Persoalan saat ini terletak pada kemauan eksekutif dan legislatif Pemkab Bantul untuk memastikan peruntukan tiap daerah sesuai RTRW.

“Semua sudah jelas, masalah utamanya adalah penegakan. Apakah Pemkab Bantul mau konsisten terhadap kebijakan yang telah mereka terbitkan? Sejauh ini hanya imbauan-imbauan. Implementasi di lapangan tidak terjadi,” pungkas Halik.