Oleh: Geolana Wijaya Kusumah
Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Desa Sendangadi dan Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, telah mencapai angka 12 kasus hingga awal bulan Maret 2019, padahal jumlah kasus DBD pada tahun 2018 terdapat 3 kasus. Alasan utama sulitnya pemberantasan DBD di kedua desa ini adalah kurangnya Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) warga di lingkungan sekitar rumahnya (5/3).
Diperkirakan kasus demam berdarah di Desa Sendangadi dan Desa Sinduadi akan terus meningkat seiring berjalannya tahun 2019. Pada tahun 2013 terdapat 107 kasus, 2014 sebanyak 28 kasus, 2015 sebanyak 64 kasus, 2016 sebanyak 110 kasus, 2017 sebanyak 12 kasus, 2018 sebanyak 3 kasus, dan awal tahun 2019 sebanyak 12 kasus.
“Pada tahun 2018, Angka Bebas Jentik (ABJ) kedua desa ini telah mencapai 89,6%. Harapannya, ABJ di Desa Sendangadi dan Desa Sinduadi dapat mencapai target ABJ Sleman, yaitu 95%. Angka tersebut sulit dicapai jika warga masih tidak membiasakan diri untuk peka terhadap kebersihan lingkungannya dan melakukan 3M,” kata Isti Rahayu, Petugas Kesehatan Lingkungan Puskesmas Mlati I (5/3).
Musim hujan menjadi momen yang tepat untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk pembawa virus dengue, yang berkembangbiak di air bersih yang tidak mengalir seperti genangan air, bak mandi, tempat sampah, bahkan botol air mineral bekas. Media apapun yang dapat menampung air menjadi sarang jentik nyamuk. Semakin tinggi frekuensi curah hujan, semakin tinggi potensi kasus demam berdarah.
Rumah yang saling berdekatan dan pengelolaan lingkungan yang tidak baik akan mempermudah penyebaran penyakit. “Sebenarnya, kebersihan rumah warga sangat terjaga, hanya saja terkadang tidak memerhatikan kebersihan di luar rumahnya seperti tempat sampah, barang bekas, pot, dan barang lain yang dapat menampung air,” kata Tyastiana Arbianisa, Petugas Promkes Puskesmas Mlati I (5/3).
Kesadaran akan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) warga masih tergolong rendah di Desa Sinduadi karena memiliki banyak kos dan kontrakan mahasiswa. Mahasiswa menjadi agen dalam penurunan kebersihan lingkungan. “Kami mendapatkan botol-botol bekas air minum yang di dalamnya terdapat jentik nyamuk, kemudian bak mandi yang tidak dikuras dengan bersih, dan barang-barang lain di halaman yang menampung air akan tetapi tidak dibuang,” kata Isti (5/3).
Tingginya mobilisasi penduduk juga menjadi faktor. “Seperti contoh anak yang sekolah di luar Kecamatan Mlati dan lingkungan sekolahnya kurang terawat sehingga anak tersebut berpotensi untuk terkena demam berdarah lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungan rumahnya yang mungkin sudah bersih,” kata Isti (5/3).
Penurunan yang signifikan terjadi pada tahun 2017 (12 kasus) di mana Puskesmas Mlati I membuat program ‘Kancil Galaksi’ yang merupakan singkatan dari Kader Anak Kecil Gerakan Mlati I Anti Jentik. Program ini merekrut anak-anak untuk memberantas jentik dan dilakukan rutin setiap bulannya hingga saat ini. “Anak-anak diberikan edukasi oleh petugas Puskesmas tentang jentik nyamuk dan melaporkannya kepada orang tua serta Puskesmas jika melihat tanda-tanda jentik nyamuk,” kata Tyas (5/3).
Selain mengurangi jentik nyamuk, anak-anak juga diberikan pendidikan dini tentang demam berdarah dan cara mencegahnya dengan cara yang kreatif dan menyenangkan. Setiap bulan, petugas Puskesmas Mlati I datang ke tiap dusun secara bergiliran dan menjalankan Kancil Galaksi. “Anak-anak diajarkan 3M, yaitu menutup, menguras, dan mendaur ulang. Warga harus menutup tempat penampungan air dengan rapat, menguras bak mandi dengan bersih, dan mendaur ulang barang yang dapat menampung air,” kata Rita Yuniarti, warga Desa Sendangadi (5/3).
Bambang Sunaryo, Ketua RW 13 Dusun Popongan, Sinduadi, menjelaskan bahwa pemberantasan sarang nyamuk juga dilakukan dengan cara fogging jika nyamuk sudah menjadi dewasa. Fogging di Dusun Popongan telah dilakukan pada Jumat, 1 Maret 2019.
Akan tetapi, efek samping dari asap fogging dapat menyebabkan gangguan pernapasan bagi manusia karena zat kimia yang terkandung dalam asapnya. “Lebih baik mencegahnya daripada harus fogging,” kata Bambang.