Yogyakarta Kembali Banjir, Salahkan Cempaka atau Tata Kota?

Oleh: Muhammad Alzaki Tristi

Beberapa daerah di DIY tergenang air dan mengalami longsor pada Selasa (28/11). Namun, Badai Cempaka bukan satu-satunya penyebab. Tata kota yang kurang baik juga ikut memengaruhi.

Hujan deras yang mengguyur Gunungkidul menyebabkan banjir di beberapa titik. Air juga meluber ke jalan utama menuju ke pantai Baron. Sulit bagi kendaraan kecil untuk melewati jalan, karena genangan air mencapai 50 cm. Bahkan, puluhan KK di Dusun Wonosari dan Dusun Padangan, Desa Banjarejo, Tanjungsari, Gunungkidul, harus mengungsi. Di Dusun Wonosari, terdapat 12 KK yang terisolasi. Lokasi yang berada jauh dari pemukiman warga menyebabkan petugas sulit mengevakuasi ke lokasi terdekat.

Data TRC BPBD Gunungkidul, sejumlah wilayah lainnya juga terendam banjir. Kecamatan Semanu misalnya, di kecamatan tersebut, beberapa rumah dan satu sekolah terendam banjir. BPBD hingga kini masih mendata mengingat cuaca ekstrim yang masih sering terjadi.

Dampak Badai Cempaka

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem di DIY, yang diakibatkan munculnya Badai Cempaka di perairan Selatan Jawa.

“Badai Cempaka di perairan Selatan Jawa menyebabkan area belokan angin yang kemudian meningkatkan pertumbuhan awan hujan,” kata Kepala operasional Stasiun Klimatologi BMKG DIY, Djoko Budiyono. Djoko menambahkan, aliran masa udara basah dari barat menyebabkan kondisi udara di sekitar Jawa dan DIY menjadi sangat tidak stabil.

Djoko mengimbau warga DIY untuk selalu waspada dan siaga dalam menghadapi potensi bencana seperti genangan, banjir, banjir bandang, maupun longsor di kawasan yang berpotensi hujan lebat.

Warga menyaksikan jembatan yang putus di Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (28/11/2017). ANTARA /Andreas Fitri Atmoko

Warga juga diminta waspada pada kemungkinan puting beliung dan angin kencang khususnya pada siang menjelang malam hari.

Berdasarkan pantauan BMKG DIY, siklon tropis atau badai Cempaka di selatan Pulau Jawa pada hari Rabu (29/11/2017) melemah menjadi Depresi Tropis (eks Cempaka).

“Telah bergerak ke arah barat daya menjauhi perairan Indonesia,” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, saat memberikan keterangan pers, Rabu (29/11/2017) sore, dilansir Bmkg.go.id.

Badai Cempaka bukan Penyebab Satu-satunya.

Yuli Kisworo, salah satu ahli tata kota dari Arsitek Komunitas (ARKOM) Yogyakarta, mengatakan bahwa hujan lebat bukan satu-satunya penyebab banjir dan tanah longsor di DIY. Tata kota juga ikut mempengaruhi.

Hingga saat ini sungai-sungai yang ada di kota Yogyakarta lebih banyak difungsikan sebagai drainase kota. Faktor inilah yang menyebabkan banjir sebagai hal yang wajar ketika hujan lebat turun. Tata kota memegang peranan yang cukup signifikan untuk mengatasi banjir.

Warga menyaksikan putusnya jembatan Buk Gedhe yang menghubungkan Kelurahan Bangunjiwo dengan Kelurahan Tamantirto di Dangin, Jetis, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Rabu (29/11/2017). Jembatan ini rusak akibat terjangan banjir Selasa sore. (Harian Jogja/Desi Suryanto)

Yuli juga menekankan pentingnya komitmen pemerintah dalam hal ini. Ia berharap pemerintah kota Yogyakarta dapat menyadari kerusakan lingkungan yang terjadi.

Tata Kota Menjadi Faktor Lanjutan

Arah pembangunan tata ruang kota Yogyakarta mengalami penurunan secara kualitas bahkan berangsur meninggalkan konsep pembangunan berkelanjutan, data dari Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M.Sc.,. Hal ini dapat dilihat dari indikasi penurunan permukaan air tanah, kemacetan lalu lintas, kualitas udara yang makin menurun dan kurangnya ruang terbuka hijau.

Pertumbuhan ekonomi kota Yogyakarta mengalami peningkatan dari sisi ekonomi, namun kulitas hidup manusia makin menurun jika dilihat dari sisi konsep pembangunan berkelanjutan dan pembangunan.

Pembangunan hotel: Foto dari http://jogja.tribunnews.com

Peneliti Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional (PSPPR), Pritaningtyas, mengatakan menurunnya permukaan air tanah menjadi salah satu persoalan yang dihadapi Kota Yogyakarta. Penurunan muka air tanah ini disebabkan karena adanya pertambahan lahan pemukiman dan maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta.

Terdapat lebih dari seratus sumber mata air yang berada di sekitar tiga sungai yang mengalir di wilayah Kota Yogyakarta, yakni sungai Code, Winongo, dan Gajahwong, data hasil dari penelitian yang dilakukan PSPPR UGM tahun 2016 lalu. Namun, dari seratus lebih sumber mata air ini tidak dirawat dan dipelihara dengan baik. Bahkan, di atas sumber mata air tersebut digunakan penduduk untuk lahan pemukiman.