oleh: Valentinus Yudanto Seto Damarjati
Film Neuland yang berarti “Tanah Air Baru” menjadi judul film dokumenter yang diangkat pada pemutaran German Film Club bulan September 2017. Seperti biasa di setiap bulannya, pemutaran film ini diadakan di Kedai Kebun Forum, Jalan Tirtodipuran.
Pada edisi bulan ini, German Film Club tidak hanya diisi dengan menonton film bersama saja, tetapi juga diikuti dengan diskusi mengenai cara-cara untuk mempersiapkan diri belajar dan bekerja di Jerman bersama alumni-alumni yang pernah belajar di Jerman, perwakilan dari Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD), dan Lembaga Indonesia-Jerman.
Neuland menceritakan kehidupan para anak imigran dari berbagai negara yang kabur ke Benua Eropa. Mereka harus mengambil pendidikan integrasi agar dapat hidup dan bekerja di Swiss. Film berdurasi 93 menit ini disutradarai Anna Thommen dengan latar Kota Basel, Swiss dengan waktu pengambilan selama dua tahun.
Tokoh-tokoh yang diangkat di antaranya Christian Zingg, seorang guru pembimbing yang mengajar di kelas integrasi, dan murid-murid yang imigran di Swiss seperti Ehsanullah dari Afghanistan yang telah menyeberang laut dan melintasi pegunungan dengan berjalan kaki. Ada juga kakak-adik Nazlije dan Ismail dari Albania, yang meninggalkan kampung halaman mereka karena alasan keluarga dan sekarang tinggal bersama ayah mereka dan istrinya yang baru.
Dalam sesi diskusi film edisi September, Tina Schott, penanggungjawab German Film Club di Yogyakarta, mengelaborasikan kelas integrasi di Swiss dengan topik mempersiapkan studi di Jerman. Topik diskusi ini menurutnya relevan melihat banyaknya jumlah anak muda Indonesia yang berminat sekolah di Jerman.
Menurut Susi, warganegara Jerman yang bekerja menjadi guru di Lembaga Indonesia-Jerman, kuliah di Jerman tidaklah mudah dan membutuhkan persiapan diri yang matang dan waktu yang lama, terutama untuk persiapan bahasa. Layaknya dengan isi film yang diangkat, setiap orang harus berusaha ikut persiapan yang tidak mudah.
“Banyak orang tua yang ingin anak cepat kuliah, terutama ke Jerman, dan menurut saya itu sulit, karena Jerman itu gak gampang”, kata Susi. Michaela, perwakilan dari DAAD pun juga mengatakan bahwa, “Banyak prasyarat, seperti tidak hanya bahasa, tetapi juga persiapan biaya deposito untuk tinggal di Jerman” kata Michaela menampik stereotype mengenai pendidikan gratis di Jerman.
Katja, salah satu guru bahasa Jerman di Lembaga Indonesia Jerman, menyatakan bahwa kuliah di Jerman pada saat ini juga menjadi lebih menantang bagi mahasiswa dari Indonesia. Hal ini didasari oleh banyaknya imigran yang datang dari Timur Tengah. Mereka juga diberikan kesempatan oleh pemerintah Republik Federal Jerman untuk mendapatkan pendidikan tinggi di Jerman.