Museum Kolong Tangga: Pendidikan melalui Permainan Tempo Dulu

Museum Pendidikan dan Mainan Anak Kolong Tangga yang terletak di lantai dua Taman Budaya Yogyakarta.

Oleh: Dewi Setiawati

Yogyakarta – Museum Pendidikan dan Mainan Anak Kolong Tangga Yogyakarta, satu-satunya museum mainan anak di Indonesia, memberikan pendidikan melalui permainan tempo dulu di tengah maraknya permainan digital. Permainan tempo dulu mampu melatih jiwa sosial, mengasah kreativitas, dan melestarikan budaya bangsa.

Perkembangan teknologi digital mulai meresahkan warga. Anak-anak lebih suka bermain permainan digital daripada bermain dengan teman sebaya. Hal inilah yang membuat Rudi Corens, kurator dan pengoleksi mainan anak mendirikan Museum Pendidikan dan Mainan Anak Kolong Tangga pada 2 Februari 2008.

Kata kolong tangga berasal dari tempatnya yang berada di bawah tangga, lantai dua gedung Taman Budaya Yogyakarta dengan luas kurang lebih 360 meter persegi. Pihak Taman Budaya Yogyakarta meminjamkan kolong tangganya untuk mereka berkegiatan.

Rudi Corens, seorang Belgia yang sudah 20 tahun lebih menetap di Yogyakarta, menganggap mainan sebagai cermin kehidupan, yang memuat banyak pembelajaran.

Rudi melihat ada banyak permainan Indonesia yang perlu dilestarikan. Sebagian besar mainan adalah koleksinya pribadi dan beberapa hasil sumbangan dari berbagai pihak dari dalam negeri maupun luar negeri.

Selain museum, ada juga pelatihan yang melatih anak membuat mainannya sendiri. Museum Visit diperuntukkan bagi sekolah-sekolah pedalaman sebagai wujud inisiatif relawan dalam melestarikan permainan tempo dulu. Perpustakaan Burung Biru tempat anak-anak membaca buku, mendengarkan dongeng, bercerita dan menonton film serta Majalah Kelereng yang berisi tulisan edukatif untuk anak-anak.

 

Pelatihan pembuatan mainan,
anak-anak dapat menuangkan ide kreatif melalui layang-layang.

Relawan senior Museum Kolong Tangga, Redy Kuswanto menyampaikan bahwa mainan bisa dilihat dari tiga aspek yaitu sejarah, filosofi dan budaya. Contoh dahulu, permainan egrang di kepulauan Solomon digunakan oleh petani sarang burung lawet untuk memanen. Di Prancis, egrang digunakan untuk menghindari kaki mereka dari penyakit malaria.

Riset yang dilakukan oleh Rudi Corens dan rekan-rekannya menunjukan bahwa permainan juga memiliki unsur kebudayaan. Dalam pameran “Boneka (bukan) Hanya Mainan”, Rudi menyampaikan berbagai fakta di balik boneka. Salah satunya, boneka unik dari Sulawesi yang berguna sebagai tempat menyimpan penyakit. Melalui ritual, penyakit dari tubuh manusia bisa ditransfer ke boneka tersebut.

Rela pengunjung Museum Kolong Tangga, menyatakan permainan banyak memberikan unsur pendidikan. “Permainan mengajarkan sopan santun, cara berinteraksi dengan teman tanpa mempedulikan suku, ras, dan agama,” katanya. Rela memberikan contoh gobak sodor yang bisa  melatih kerja sama dan sistem motorik anak.

Pengunjung dapat bermain dakon dan alat musik bambu setelah berkeliling Museum Kolong Tangga.

Seperti halnya museum-museum yang lain, antusiasme pengunjung tidak terlalu besar. Museum ramai hanya di waktu akhir pekan dan ketika ada kunjungan dari sekolah. Padahal anak-anak (di bawah 14 tahun) tidak dipungut biaya sepeser pun untuk masuk museum. Orang dewasa hanya dipungut biaya Rp 5.000,- per orang.

Permainan selalu berkembang, sehingga museum tidak hanya memajang koleksi-koleksi yang  lama tetapi juga koleksi baru seperti Kinder Joy.

Anak-anak di bawah umur 14 tahun gratis masuk Museum Kolong Tangga

Museum Kolong Tangga merupakan organisasi sosial nirlaba. Pendanaan museum berasal dari donatur tidak tetap, penjualan mainan di depan museum, tiket masuk untuk orang dewasa, dan penyelenggarakan bazar menjual mainan.

Alya Sekar, relawan museum Kolong Tangga, mengungkapkan bahwa permainan selama ini dianggap sebagai yang sepele, tetapi ada arti di balik mainan itu. Bermain harus didampingi orang tua. Relawan juga bertugas menjadi guide dalam museum untuk memberikan penjelasan tentang permainan. “Boneka squeeze ball yang ada di museum bisa mengajarkan anak-anak tentang perbedaan gender,” katanya. (DEWI SETIAWATI)