Sekolah Model, Upaya untuk Pendidikan Karakter Berbasis Budaya

Kelompok Karawitan NAWAWITRA dari salah satu sekolah percontohan SMA Negeri 9 Yogyakarta, tengah menyelenggarakan pentas rutin seni karawitan, Jumat (8/4) sebagai bagian dari pendidikan karakter berbasis budaya (Putri Gita Cempaka)
Kelompok Karawitan NAWAWITRA dari salah satu sekolah percontohan SMA Negeri 9 Yogyakarta, tengah menyelenggarakan pentas rutin seni karawitan, Jumat (8/4) sebagai bagian dari pendidikan karakter berbasis budaya (Putri Gita Cempaka)

oleh Putri Gita Cempaka

Sebagai upaya mewujudkan pendidikan karakter yang berbasis nilai budaya, Dinas Pendidikan memiliki program sekolah model, yakni sekolah percontohan mulai dari PAUD hingga SMA. Dukungan dan tanggapan positif mengenai program ini pun dilontarkan tidak hanya oleh guru tetapi juga siswa sebagai sasaran utamanya.

Bachtiar Nur Hidayat, Kepala Seksi Perencanaan Pendidikan saat ditemui di kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kota Yogyakarta mengatakan bahwa dalam program ini, tiap sekolah punya penguatan ciri khas tertentu dalam rangka penguatan karakter setelah 3 tahun. “Prinsipnya adalah pendidikan di Yogyakarta harus diperkuat oleh nilai luhur di Yogyakarta,” kata Bachtiar.

Dinas melakukan seleksi terhadap 100 sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK di Yogyakarta untuk dijadikan model sekolah berbasis budaya. Seleksi dilakukan dengan melakukan observasi dan analisis terhadap kemajuan program budaya dari masing-masing sekolah, seperti karawitan, seni tari, mbatik, mata pelajaran bahasa daerah, dan sebagainya.

Sedangkan di tahun 2015, Dinas juga telah memilih 100 sekolah model untuk tingkat PAUD dan TK. Menurut Bachtiar, hal ini perlu dilakukan karena pendidikan nilai luhur di usia dini merupakan faktor utama terbentuknya karakter yang berkualitas. Representasinya, kata Bachtiar, dapat melalui pentas-pentas seni atau perlombaan tingkat kota.

“Budaya memiliki arti luas, tidak hanya sekedar pelajaran menari atau membatik. Budaya adalah nilai luhur. Diharapkan, sekolah yang menjadi model ini dapat menjadi rujukan bagi sekolah lain sehingga tiap sekolah memiliki penajaman di bidang tertentu,” ujar Bachtiar.

Kusumaningsih (53), guru pembimbing seni karawitan di SMA Negeri 9 Yogyakarta, juga mengungkapkan ketertarikannya dengan program yang terus digencarkan oleh Dinas Pendidikan. “Terlepas dari profesi saya sebagai guru pembimbing kesenian, saya memang melihat murid-murid merasakan manfaat dari program ini. Terutama dengan ditambahnya dana untuk menunjang pendidikan berbasis budaya, kini murid tak lagi kaku jika harus memainkan gamelan,” ujar guru yang kerap disapa Bu Kus ini. Baginya praktek kesenian adalah langkah awal bagi para murid untuk memahami makna kebudayaan yang sesungguhnya.

Manfaat dari seleksi sekolah model yang dilakukan Dinas Pendidikan turut dirasakan Desy Larasati (18). Ia mulai mendalami nilai-nilai budaya sebagai pendidikan karakter melalui pendidikan formal di sekolah, terutama di bidang kesenian. “Kami diajarkan untuk sabar, terus belajar, dan ikut andil merawat aset kebudayaan. Bahkan, sama sekali nggak gengsi main karawitan atau nari Jawa,” tutur Desy. Ia juga mendapatkan pengalaman baru ketika melakukan kunjungan OSIS ke salah satu SMA di Bantul. “Ternyata, di sana bahasa Jawa sudah dijadikan bahasa pengantar,” imbuhnya.