Di Jogja, Warga Lokal Nyaris Mustahil Membeli Rumah

 

“There is Life Behind Your Hotel”, mural sebagai keresahan warga Sosrokusuman tentang lahan yang semakin terhimpit akibat pembangunan hotel

Yogyakarta 一 Perubahan ruang dari permukiman menjadi ruang komersial dan kawasan elite disebut gentrifikasi. Di satu sisi, gentrifikasi mendorong perekonomian dan pendapatan daerah, tetapi di sisi lain warga lokal terancam sulit memiliki rumah karena ruang yang semakin terbatas dan harga lahan yang selangit. 

Peningkatan harga tanah yang tidak sebanding dengan peningkatan UMR di Kota Yogyakarta menyebabkan kelompok miskin kota sulit mendapatkan hunian murah. Menurut survei Rumah123 sebagaimana dilansir Detik.com, hanya 5% milenial kelahiran 1980-2000 yang bisa membeli rumah karena sebagian besar milenial berpenghasilan rendah. Keresahan itu melatari riset tiga mahasiswa FISIPOL UGM berjudul “Kelompok Milenial dan Tantangan Pembangunan Kota: Gentrifikasi dan Komersialisasi Ruang di Kota Yogyakarta.” 

Harga tanah yang tinggi di Kota Yogyakarta dipicu oleh kebijakan pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Imron Amrozi, Dicky Riandy, dan Afifatul Millah itu menunjukkan kebijakan pemerintah justru menguatkan gentrifikasi tersebut. Rancangan Pembangunan Jangka Pendek Daerah (RPJPD)  2005-2025 dengan visi “Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan” mendorong komersialisasi ruang di Kota Yogyakarta.

Demi pariwisata, hotel-hotel tumbuh subur terutama di perkampungan sekitar kawasan Malioboro seperti di Kampung Sosrokusuman, Kelurahan Suryatmajan pada satu dekade terakhir. Wilayah tersebut semula berupa pemukiman dan tanah magersari (tanah milik Keraton di mana warga bisa menumpang bertempat tinggal). Seiring dengan pergantian generasi maka tanah-tanah tersebut banyak dijual. Penelitian Amelia da Conceicao da Costa, Willy Arafah, Herika Muhamad Taki, dan Sugihartoyo (2021) menunjukkan alih fungsi lahan secara besar-besaran itu. Pada 2010, porsi hunian masih sebesar 45% atau masih lebih banyak daripada sektor jasa dan perdagangan (31%). Pada 2019, situasinya terbalik. Porsi lahan hunian menciut jadi 29%.

Penelitian ketiga mahasiswa FISIPOL UGM yang akan diterbitkan oleh Jurnal Polgov itu mewawancarai tiga orang generasi milenial muda (15-34 tahun) dan empat orang generasi lebih tua (di atas 40 tahun). Ketua risetnya Imron Amrozi mengatakan, “Generasi dulu masih bisa membeli tanah di harga 360 ribu/m di tahun 1960an. Kenaikan harga terus terjadi seiring pembangunan hotel besar dan pemusatan wisata di Malioboro. Sementara itu kenaikan pendapatannya tidak sebanding.”   

Kini, harga per meter persegi di Sosrokusuman bisa mencapai 25 juta. Dengan harga tersebut, warga Kota Yogyakarta yang berpenghasilan sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp 1.765.000 hanya bisa berharap memiliki hunian dari warisan orang tua, membeli jauh dari pusat kota, atau tidak pernah memilikinya sama sekali. 

Kepala DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY, Ilham Muhammad Nur (13/7), mengatakan, “Sekarang pengembang memilih membangun ke daerah penyangga, misalnya Sedayu, Maguwo, dan Banguntapan karena Kota Yogya sudah penuh. Itupun sudah sangat tinggi.” 

Misalnya di wilayah Bantul saja satu unit rumah tipe 30 mencapai Rp 230-an juta. Ilham mengaku bahwa sebagian besar pembeli rumah dari pengembang REI DIY malah berasal dari luar Jogja dan bukan milenial. Mereka membeli dengan motif investasi, nostalgia karena pernah belajar di Jogja, atau untuk menyekolahkan anaknya. Tak ada syarat yang membedakan pembeli dari dalam Kota Yogyakarta/DIY dengan dari luar DIY. Itu membuat pembelian rumah menjadi lebih kompetitif. Dengan pendapatan lebih rendah dari pembeli rumah dari luar DIY, warga lokal Yogyakarta tentu sulit mendapatkan hunian terjangkau.  

Bagi salah satu milenial Sosrokusuman, Mega (25), rumah impiannya adalah rumah tapak dibandingkan dengan rumah susun atau apartemen. “Inginnya, sih, lingkungannya ada ruang hijaunya biar anak bisa tumbuh sehat. Jaraknya juga harus dekat dengan tempat kerja,” ungkapnya. Ia mengaku belum mempersiapkan dana khusus untuk hunian. Dengan kemampuan finansialnya, ia lebih memilih menabung daripada mengikuti program Kepemilikan Perumahan Rakyat (KPR). 

Sebenarnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah membuat program subsidi rumah namun Mega mengaku belum mengetahui tentang program tersebut. “Nggak ada sosialisasi, sih, sejauh ini,” tambahnya.

Di samping itu ia khawatir karena status pekerjaan yang masih kontrak membuatnya sulit mendapatkan subsidi. Memang jika melihat data Penyaluran Dana FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) di DI Yogyakarta sangat rendah, yakni hanya 239 unit rumah. Jumlah itu jauh dari Jawa Barat yang mencapai 35.946 unit. Kebanyakan penerimanya pun yang berpenghasilan di atas Rp 4 juta/bulan.

“Mengingat persyaratan yang tidak mudah untuk memiliki rumah itu, kami menyarankan pemerintah maupun pengembang untuk saling bekerja sama menyediakan perumahan murah dengan syarat yang lebih mudah,” tutur Imron Amrozi. Pemerintah juga perlu mengendalikan pembangunan ruang komersil guna menjaga ketersediaan hunian penduduk di masa mendatang. (gdp)