Oleh: Yogama Wisnu Oktyandito
Sudah dua bulan terduga teroris ZA (25) melakukan aksi penyerangan ke Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta Selatan yang turut menewaskannya dalam baku tembak dengan polisi (31/3/2021). Aksi itu dinilai Muhammad Najib Azca, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), bukan sebagai hal yang baru.
Menurut Najib Azca, aksi ZA memperpanjang deretan kasus terorisme di Indonesia yang melibatkan kelompok perempuan dan kaum muda.
“Aksi kekerasan oleh perempuan sudah banyak. Yang terjadi belakangan ini sesungguhnya bukan sesuatu yang sama sekali baru, masih rangkaian dari yang sebelumnya,” ujarnya (10/5/2021).
Ia juga seorang dosen di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM. Sebagai akademisi, Najib Azca sering melakukan studi tentang konflik dan kekerasan, radikalisme, hingga gerakan-gerakan Islam. Bersumber dari Google Scholar, sejak 2001, ia telah menerbitkan 37 artikel jurnal, baik skala nasional maupun internasional. Artikel-artikel tersebut adalah tulisannya bersama beberapa akademisi lain.
Najib Azca melalui sambungan telepon membahas tentang keterlibatan kelompok perempuan dan kaum muda sebagai aktor utama dalam aksi terorisme di Indonesia. Berikut tanya jawabnya:
Menurut Anda, apa yang membedakan aksi terorisme pada awal 2000-an dengan 5 tahun belakangan?
Jaringan aktornya berbeda. Pada awal 2000-an, jaringan aktornya adalah Jamaah Islamiyah. Sedangkan, baru-baru ini adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Aksi Jamaah Islamiyah terorganisasi dan terkoordinasi. Dampak destruksi dari terornya lebih dahsyat. Misalnya, bom bali tahun 2002 yang menewaskan ratusan orang.
JAD lahir dari kemerosotan Jamaah Islamiyah pasca peristiwa bom bali akibat sebagian aktornya ditangkap pemerintah. Kerusakan yang ditimbulkan JAD tidak sedahsyat Jamaah Islamiyah, seperti yang terjadi di Mabes Polri, gereja di Makassar, hingga di Surabaya tahun 2018.
Jamaah Islamiyah memiliki afiliasi global dengan Al-Qaeda. Sedangkan JAD afiliasinya ke ISIS.
Mengapa dampak yang ditimbulkan Jamaah Islamiyah lebih dahsyat dibanding JAD?
Jamaah Islamiyah memiliki pengalaman militer di Afghanistan atau di Mindanao, Filipina. Misalnya, dalam merakit bom lebih dahsyat dan mampu menggunakan senjata-senjata, seperti AK-47.
Kalau JAD, sebagian dari mereka, bahkan pemimpin utamanya Aman Abdurrahman tidak punya pengalaman militer. Lain halnya dengan Abu Tholut dan Ali Imron di Jamaah Islamiyah yang dahulu berguru di Afghanistan.
Belakangan ini, perempuan dijadikan aktor utama dalam aksi terorisme. Bagaimana awalnya ISIS membolehkan hal itu?
ISIS menciptakan sebuah konstruksi keagamaan baru yang menghalalkan kelompok perempuan untuk terjun langsung. Varian JAD dan turunannya ini kemudian membolehkan perempuan menjadi aktor utama serangan.
Lalu apa tujuan mereka menjadikan perempuan sebagai aktor utama dalam aksi terorisme?
Pertama, kebutuhan taktis. Gerak laki-laki semakin terbatas dan diperketat sehingga kelompok perempuan cenderung dilonggarkan. Misalnya, perempuan tak dicurigai saat pengecekan di tempat publik.
Kedua, memperkuat aksi. Perempuan sebagai aktor utama aksi menjadi kekuatan baru bagi mereka. Terlebih ketika bom di Surabaya tahun 2018, yaitu suami, istri, dan semua anaknya dilibatkan dalam bom bunuh diri. Kejadian seperti itu tak pernah terjadi dahulu.
Pada artikel jurnal berjudul “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru” tahun 2012, disebutkan tiga faktor yang menyebabkan fenomena gerakan Islam radikal pada kaum muda Muslim pasca Orde Baru. Setelah berbagai dinamika sosial politik di Indonesia dua dekade ini, apa yang berubah dari ketiga faktor tersebut?
Skalanya tidak sebesar pada masa reformasi 1998. Saat ini banyak terjadi perubahan besar, di antaranya dalam hal teknologi informasi dan komunikasi.
Ekologi politik Indonesia seakan berubah karena komunikasi politik yang intensif melalui media sosial dan propaganda. Banyak dinamika perubahan politik jangka pendek. Misalnya, fenomena gerakan 212 dan pembubaran gerakan Islam, seperti HTI dan FPI. Hal itu membuat sebagian orang berpotensi mengalami radikalisasi.
Lalu, bagaimana dampak radikalisasi yang mungkin ditimbulkan dari dua faktor tersebut? Akankah lebih besar dari masa awal reformasi dahulu?
Bisa saja lebih besar sebagai ekosistem. Radikalisasi lebih rentan melalui dunia digital. Dampaknya, muncul varian baru aktivisme radikalisasi berbasis media sosial. Kemungkinan orang yang terdampak akan luas. Namun, mereka lebih lemah karena proses ideologisasinya tidak sekental pada masa awal reformasi.
Berkaca dari teror bom di Surabaya pada 2018 dan penyerangan ke Mabes Polri, apa penyebab keterlibatan kaum muda dalam aksi teror?
Kaum muda relatif mudah dipengaruhi. Kaum muda memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan perubahan besar. Erikson, seorang ahli psikologi pada 1968, melihat fase anak muda sebagai fase yang paling rentan terjadi krisis identitas.
Mereka ada di fase transisi, bukan anak-anak, tapi juga belum dewasa. Mereka sudah punya otonomi sendiri, namun belum mandiri karena ekonomi masih bergantung pada orang tua. Pada masa itu, seseorang dapat mengambil tindakan yang radikal dan dramatis. Militansi kaum muda juga tinggi, jika berjuang akan habis-habisan.
Bagaimana keterlibatan para orang tua dari ekstremis muda ini sampai anaknya bisa terpengaruh ajaran ekstremis dan radikal?
Menurut saya, sangat bervariasi. Seorang informan dari Jakarta pernah menjadi komando jihad dan melakukan operasi terorisme zaman Soekarno. Bapaknya dahulu berasal dari Darul Islam. Informan ini mereproduksi dan mengikuti jalan bapaknya. Artinya, hal itu linear, bapak dan anak sama.
Ada pula anak dari orang tua abangan (orang Islam yang tak melaksanakan seluruh ajaran) yang mengalami santrinisasi sejak dari sekolah. Anaknya berpotensi menjadi radikal ketika merantau ke Jakarta, bertemu dengan komunitas yang beragam, hingga mengikuti isu peristiwa internasional di Afghanistan dan Irak.
Jadi, tidak ada trajectory tunggal tentang proses parenting.
Bagaimana strategi jaringan teroris untuk mendoktrin kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya?
Sebenarnya, belum tentu dirancang secara khusus. Bisa jadi memang bagian dari perjalanan seseorang saja. Artinya, sudah ada “simpul awal” sejak muda.
Gradasi radikalisme yang paling rendah adalah intoleransi. Orang-orang di gradasi ini tidak ekstrem, tetapi tidak nyaman berteman dengan komunitas yang berbeda. Gradasi di atasnya adalah konservatisme. Mereka dilarang bergaul dengan kelompok lain dan pilihan hidupnya konservatif. Dari konservatif bisa menjadi radikal. Namun, radikal belum tentu kekerasan juga, masih dalam pikiran.
Gradasi yang terakhir, yakni ekstremisme dengan menghalalkan penggunaan kekerasan.
Hal apa yang perlu diperhatikan perempuan dan kaum muda agar terhindar dari ajaran radikal dan ekstremis oleh jaringan teroris?
Harus memiliki kesadaran kritis dalam ekosistem digital yang proses persebaran informasinya sangat masif dan intensif. Kesadaran literasi media digital menjadi sangat penting. Kaum muda dengan energi kreatif harus memanfaatkan ekosistem digital menjadi sesuatu yang produktif (Editor: Diva Diandra D. & Sarah Widhi Ardhani)