Batik Jolawe, Warna dari Alam yang Ramah Lingkungan

Oleh: Nivita Saldyni Adiibah

Batik Jolawe adalah merek batik tulis yang menggunakan pewarna alam dari tanaman jolawe. Usaha yang didirikan oleh Dedi Purwadi dan Wineng Winarni pada 2010 ini menggunakan rebusan kulit buah jolawe (Terminalia bellirica), yang menghasilkan warna kuning kehijauan hingga hitam.

Berlokasi di Dusun Kalangan RT 05, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Batik Jolawe selalu memproduksi batik dengan motif yang dibuat tunggal atau custom. Mulai dari pewarnaan hingga pengeringan, pembuatannya menggunakan bahan yang disedikan oleh alam.

Di rumah sederhana ini berbagai produk Batik Jolawe dihasilkan. Dedi dan Wineng, pemilik sekaligus pekerja di sini, mampu menghasilkan satu hingga dua batik tulis setiap bulannya, bergantung pesanan.
Mulai dari merancang motif hingga pemasaran, semua dilakukan sendiri oleh Dedi dan Wineng. Meski sebagian besar transaksi jual-beli dilakukan secara online melalui http://batikjolaweyogya.blogspot.co.id/, tak sedikit pembeli yang datang langsung ke rumah produksi.
Berbagai motif batik kontemporer telah dihasilkan dari tangan Dedi. Motif-motif batik karya Dedi selalu berbeda dan tidak pernah dibuat ulang, semua disesuaikan dengan keinginan pembeli.
Dedi mengaku bahwa dulu ia dan sang istri sempat bermain dengan pewarna sistetis, hingga akhirnya ia menemukan berbagai masalah lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan warna sintetis. Sehingga beralihlah mereka menggunakan pewarna alam yang lebih ramah lingkungan. Berbagai bahan dari alam dimanfaatkan oleh Dedi sebagai pewarna batik, mulai dari daun alpukat, kulit rambutan, daun mahoni, daun jati, kulit buah jolawe, sabut kelapa, daun manga, indigo, dan lain-lain.
Dari berbagai pewarna alam yang ada, ia mengatakan bahwa indigo adalah pewarna yang paling baik. Hal ini didukung oleh hasil uji laboratorium yang mengatakan bahwa indigo menduduki skala tertinggi dalam jajaran pewarna alam. Indigo memiliki berbagai keunggulan, mulai dari ketahanan terhadap asam (keringat), ketahanan terhadap luntur, hingga ketahanan terhadap panas. Selain itu, kecemerlangan warna yang dihasilkan juga lebih tahan lama dan stabil.
Untuk pewarna indigo, kain batik yang akan diwarnai harus dalam keadaan basah, berbeda dengan pewarna alam lainnya yang harus dilakukan terhadap kain kering.
Bila pewarna sintetis cukup dengan lima kali pencelupan, pewarna alam membutuhkan 10 hingga 15 kali pencelupan, mulai dari pewarnaan hingga pengeringan. Ini karena kepekatan warnanya akan terus berkurang sekitar 50%. “Ini adalah salah satu kelemahan pewarna alam, untuk mendapatkan warna yang diinginkan terkadang tidak bisa hanya satu atau dua kali pencelupan kedalam pewarna,” kata Dedi.
Setelah kain mendapatkan warna dengan kepekatan yang sesuai, batik direndam dalam larutan sitrun atau jeruk nipis sekitar 15 menit untuk mengikat warnanya. Setelah itu batik masuk ke proses lorot, yakni kain direbus dalam air mendidih, yang dimasak menggunakan kayu bakar, bersama soda abu yang disesuaikan dengan takaran untuk melepaskan lilinnya.
Tahap terakhir yaitu pengeringan, yang sangat dipengaruhi oleh bantuan angin. Sehingga waktu yang dibutuhkan cukup lama karena sangat tergantung pada alam. “Dulu ada yang sempat tanya, kenapa tidak pakai oven atau semacamnya. Jelas tidak bisa karena yang dibutuhkan adalah angin, bukan panas. Kalau pakai oven akan membuat lilinnya leleh,” kata Dedi.
Dengan proses pembuatan yang cukup panjang ini, batik tulis karya Dedi dan Wineng dipatok sekitar Rp 350.000 hingga Rp 1.500.000, tergantung kerumitan dan lamanya proses pengerjaan.