Batik Nitik: Tradisi Lama dengan Potensi Besar

Binah memperoleh keterampilan membatik secara turun temurun (20/02).

Oleh: Amalia Miftachul C.

Batik nitik di Kembangsongo, Trimulyo, Jetis, Bantul berkembang sejak tahun 1800-an. Ciri khas batik ini pada teknik pembuatan dan motifnya. Industri batik nitik masih memakai cara kerja lama, tapi punya potensi besar untuk berkembang.

Nama “nitik”, atau membuat titik, berasal dari teknik membatiknya. Ornamen yang biasanya tersusun dari garis, pada batik ini dirangkai dari titik-titik. Canting yang digunakan pun khusus, mulut canting dibelah untuk mempermudah proses nitik

Motif yang menjadi khas dari batik nitik antara lain, kembang pace, ranti, cakar ayam, kembang randu, dapa kurung dan kembang kentang. “Motifnya bisa dikreasikan, bergantung pesanan,” kata Binah (70), salah satu pembatik di Kembangsongo. Secara umum motif batik nitik adalah flora dan fauna.

Setelah proses pambatikan selesai, kain pun diberi warna. Pewarnaan dilakukan beberapa kali untuk menghasilkan warna yang diinginkan. Pada umumya warna yang digunakan dalam batik nitik adalah warna sogan (cokelat kehitaman) yang menjadi ciri khas batik gaya Yogyakarta. Selanjutnya adalah proses melorot dan mengerok (menghilangkan malam atau lilin pada kain).

“Penjualan batik saat ini lebih ramai dibanding dulu,” kata Siti, pengepul batik di Desa Kembangsongo. Siti tidak membeli kain dari pengrajin dalam bentuk jadi. Ia harus mewarnai, melorot, dan mengerok-nya karena pengrajin hanya sebatas membatik.

Rata-rata satu bulan seorang pembatik hanya mampu menghasilkan satu buah batik nitik. Ada 50 pembatik aktif di Kembangsongo, dan ada sekitar tiga orang seperti Siti yang bekerja sebagai pengepul.

Satu kain batik nitik dengan ukuran 2,5 x 1, 15 meter dijual Siti kepada pedagang besar Rp 400 – 600 ribu. Di toko besar tempat konsumen membeli, harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Penjualan batik nitik saat ini telah merambah Jakarta dan kota besar lainnya.

Ketua paguyuban pengrajin batik nitik, Iswanto, menjelaskan, anggotanya masih mengalami kendala dalam produksi dan pemasaran. Akibatnya, pengrajin hanya menjual produknya dalam bentuk setengah jadi atau belum diwarnai, sehingga harga jualnya sangat murah. Pengrajin juga belum bisa menjangkau konsumen langsung untuk memaksimal pendapatan mereka.

Sebagian besar pembatik di Kembangsongo berusia lanjut

Minimnya sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan dalam pewarnaan adalah salah satu hambatan terbesar mereka. Hal ini menambah beban ongkos produksi batik karena proses pewarnaan harus dilakukan di lokasi yang berbeda dengan biaya yang cukup mahal.

Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul sebenarnya telah berupaya mengembangkan industri batik nitik melalui pemberian bantuan alat dan bahan, ruang pemasaran di pameran dan tawaran pelatihan keterampilan. “SDM kami belum berani masuk ke pasar yang lebih luas, hanya satu atau dua orang yang mentalnya siap jadi juragan,” kata Iswanto.

Ke depannya dia berharap agar dukungan dan pendampingan dari dinas terkait terus dilaksanakan. Melalui dukungan dan pendampingan dari pemerintah, ia yakin pengrajin batik di Kembangsongo secara bertahap bisa lebih berkembang dan sejahtera.