Oleh: Hasya Nindita
Saat ini ada banyak buku alternatif yang dapat dinikmati secara luas, salah satunya adalah buku oleh penerbit indi. Apa itu buku indi dan bagaimana posisinya?
Dana Gumilar, pimpinan BerdikaRIbook, salah satu penerbit sekaligus toko buku indi online, menganggap buku indi merupakan buku yang dicetak dalam jumlah terbatas karena keterbatasan modal. Jaringan distribusinya juga hanya mengandalkan penjualan online.
“Kami hanya menjual melalui online, tidak mengandalkan makelar atau distributor besar, jadi tidak masuk ke toko buku mayor,” kata Dana.
Selain itu, ongkos penerbitan buku indi dibiayai oleh penulis buku, bukan penerbit, seperti yang umum terjadi di penerbit mayor atau konvensional. Ongkos penerbitan ini meliputi penyuntingan naskah, tata letak, desain sampul, hingga biaya cetak dan promosi. Ongkos untuk tiap aspek itu pun umumnya lebih murah dibandingkan dalam sistem kerja penerbit buku mayor.
Dana mengungkapkan bahwa jenis naskah yang diterbitkan oleh penerbit indi kebanyakan tidak ditemukan di toko buku mayor. Dana menuturkan ini karena penerbit indi memang berusaha untuk mengisi wacana kosong yang tidak tersentuh oleh buku-buku di toko buku mayor seperti filsafat atau humaniora.
“Menurut kami naskah seperti ini penting dan ada sumbangsih untuk pemikiran, jadi harus kami terbitkan,” tutur Dana.
Bagi Dana, penerbit buku indi memiliki keleluasaan dalam memilih materi buku yang ingin diterbitkan. Walaupun tetap ada proses penyuntingan, penerbit indi tidak banyak melakukan penyuntingan terhadap naskah yang dianggap dapat mengurangi esensi buku.
“Kalau indi kami bebas menerbitkan buku apa yang kami mau dan tertarik. Kami tidak terikat dan bergantung dengan toko buku mayor,” kata Dana.
Dalam satu bulan, BerdikaRIBook yang memiliki lini penerbitan bernama Penerbit Jalan Baru hanya menerbitkan sebanyak satu hingga dua judul buku. Satu judul buku dapat diterbitkan dalam jumlah 300-500 eksemplar. Contoh-contoh buku yang diterbitkan seperti Indonesia For Sale, Politik Kuasa Media, Revolusi dan Kontra Revolusi, dan lain-lain.
Hari Songko, salah satu pembaca buku indi, menuturkan bahwa alasan ia menyukai buku indi karena bukunya unik. “Penulis buku indi itu bebas mengekspresikan pikirannya, isinya berbagai kritik yang membuat kita ikut berpikir,” ucap Hari.
Menurut Dana, ia memang ingin menerbitkan buku yang ketika seseorang membacanya, orang tersebut ikut berpikir mengenai wacana yang disampaikan penulis. Dana menganggap buku indi menjadi bacaan yang menghidupkan isu tertentu dari buku.
Dalam sekali menerbitkan buku, penerbit indi hanya menerbitkan buku dalam jumlah sekitar 100-500 eksemplar. Berbeda dengan buku-buku yang masuk ke toko buku mayor, jumlah minimun buku diterbitkan sebanyak 3.000 eksemplar. Karena itulah publikasi dan strategi pemasaran kemudian menjadi satu hal penting bagi penerbit indi.
“Bagaimana mengenalkan ke masyarakat bahwa ada buku indi adalah bentuk strategi tersendiri,” kata Dana.
Hal senada juga diungkapkan oleh Rijen, bagian dari Kampung Buku Jogja (KBJ), sebuah kegiatan atau acara pameran buku di Yogyakarta. Menurutnya, pemasaran dan pengenalan buku alternatif seperti buku indi merupakan hal yang penting. Selain melalui penjualan online, bazar dan pameran buku juga menjadi sarana untuk menjual dan mengenalkan buku indi ke masyarakat.
Selain melalui pemasaran, Dana menambahkan, untuk menarik perhatian masyarakat strategi lain yang digunakan adalah dengan membuat sampul dan layout buku yang menarik. Dimensi buku dan jenis kertas pun dipertimbangkan dalam menerbitkan buku indi.
Saat ini, penerbit buku indi sudah semakin menjamur, khususnya di Yogyakarta. Menurut Rijen, sudah semakin banyak penerbit indi baru yang bermunculan dan terus berkembang. Saat BerdikaRIbook pertama kali berdiri pada akhir 2014, penerbit buku indi masih sangatlah sedikit. “Walaupun tidak ada jaminan dan kepastian untuk pasti laku, mudah-mudahan penerbitan buku indi terus berkembang,” ucap Dana.
Bagaimana dengan kualitasnya?
Menurut Hari Songko sebagai pembaca buku, kualitas buku indi berbeda dengan kualitas penerbit mayor. Contohnya seperti pada jenis kertas atau desain sampul. “Kualitas memang berbeda, seperti jenis kertas dan desain sampulnya, mungkin karena ongkos produksi juga,” kata Hari.