Geliat Penyelenggara Acara Musik Independen Yogyakarta dalam Pusaran Otonomi Kerja Kreatif

Gelaran Terror Weekend 4 di Speedy Joe’s Dinner, Yogyakarta, Rabu (19/10/2016)
Dokumentasi: Warning Magazine (Dwiki Aprinaldi)

Oleh: Dwiki Rahmad Aprinaldi

Penyelenggara acara musik independen hadir dengan otonomi konten tatkala acara berponsor besar tidak memberikan ekosistem yang lebih sehat bagi proses kreatif musisi. Lebih dari sekadar budaya tandingan. Mereka hadir dengan semangat selain keutamaan keuntungan materiil.

Sekitar pertengahan 2016, ada regenerasi yang sedang berlangsung di scene musik independen Yogyakarta. Munculnya beberapa organizer baru seperti: Terror Weekend, Sekutu Imajiner, dan Ruang Gulma telah memberi warna baru dan mulai menemukan suaranya dalam kancah musik indi Yogyakarta.

Para penyelenggara acara indi itu berangkat dari semangat sama dalam memberi panggung bagi band-band lokal, dan meneruskan alih-alih menggantikan organizer lawas seperti: YK Booking, Kongsi Jahat Syndicate, atau Lelagu. Para gig organizers baru ini muncul tetap dengan semangat klasik gerakan independen DIY (Do It Yourself) dalam tiap gelaran acaranya.

Akbar Rumandung, anggota Terror Weekend sekaligus bassist dari unit indie-pop, Grrl Gang, yang berada di bawah naungan Kolibri Rekords memberikan responnya ketika ditanya perihal apa yang membuatnya terdorong menggelar acara-acara musik indi ini. Menurutnya, agar band lokal tetap eksis, diperlukan juga kehadiran penyelenggara-penyelenggara independen ketika acara bersponsor besar tidak bersedia menerima mereka.

“Kami membuat acara-acara seperti ini sebenarnya karena passion itu sendiri,” ucap Akbar.

Akbar Rumandung, musisi & pegiat gigs independen, Rabu (19/10/2016)
Dokumentasi: Warning Magazine (Dwiki Aprinaldi)

Menurut Akbar, dengan atau tidak adanya sponsor tidak akan terlalu berpengaruh dalam proses kreatif penyelenggara, meskipun aspek teknis seperti persediaan alat, instrumen, hingga kerja promosi akan lebih dimudahkan dengan adanya sponsor.

Gaung “mari support band lokal” yang kerap ditawarkan acara-acara musik bersponsor besar pun baginya terdengar absurd karena realitas berkata lain tatkala jajaran penampil justru kerap didominasi oleh nama-nama dari ibu kota yang santer terdengar di telinga para pendengar.

“Banyak juga acara musik bersponsor besar yang secara teknis eksekusinya tidak begitu bagus. Namun secara penampil jelas mereka (acara bersponsor besar) akan mengundang band-band nasional dan jarang band baru lokal karena tujuan mereka sendiri untuk menarik massa yang banyak,” jawab Akbar.

Poster-poster acara Terror Weekend

Perihal keuntungan materiil, ia membenarkan bahwa tujuan utama dari Terror Weekend tidak sekadar keuntungan secara ekonomi.

“Kebanyakan tujuan organizer ini bukan untuk materiil. Band-band lokal sudah keluar biaya untuk latihan dan rekaman sendiri. Ketika band-band ini tidak diterima untuk bermain di acara sponsor besar dan tidak ada para penyelenggara acara musik indi, mereka mau main di mana,” ucap Akbar.

Soni Triantoro, pengamat sekaligus jurnalis musik di berbagai media lokal dan nasional, turut memberikan pandangannya terhadap ekosistem event organizer (EO) acara musik indi.

Menurutnya, dewasa ini, EO bersponsor dengan dana yang besar dan EO independen tetap dibutuhkan dan saling melengkapi. Ia melihat kekurangan dalam proses di EO bersponsor bisa ditawarkan oleh kelebihan yang ada pada EO indi. Menurutnya, pola ketergantungan berlebih bagi band atau musisi terhadap sponsor pun berbahaya karena kerja-kerja yang dilakukan di baliknya sebatas pola kerja korporat dengan tujuan utama akumulasi kapital.

“Ketika mereka bikin konser mengundang Barasuara, misalnya. Setelah selesai, ada harapan Barasuara bakal bisa berkarya lebih baik lagi, itu kan tidak ada di agenda mereka (EO bersponsor besar). Kemudian perlu ada alternatif dalam bentuk EO independen ini, meski EO independen ini kesulitan untuk bisa menghasilkan acara yang besar dan hadir dengan semangat yang memang bukan hadir untuk memberikan jalan karir untuk menghidupi personil-personilnya. Kehadiran mereka tetap dibutuhkan sebagai alternatif,” ucap Soni.

Soni Triantoro, pengamat dan jurnalis musik
Dokumentasi: Hipwee

Memang, kini terbentuk pandangan umum bahwa acara musik yang bersponsor akan lebih bagus dari segi alat, instrumen, hingga penampil daripada acara musik tidak bersponsor. Namun menurut Soni, para EO indi bisa membangun citra agar mendapatkan nilai bagus oleh khalayak dengan memikirkan cara-cara dalam menjaga kualitas mereka ke depan.

“Contoh bagus adalah Limunas (Liga Musik Nasional) di Bandung, konsep yang menarik buatku terutama dengan setlist panjang yang ditawarkan. Di situ ada Melancholic Bitch, Seringai, Morfem, dsb. Ada merk yang sudah dibangun sebelumnya dan kemudian jadi nilai tawar dalam membangun kepercayaan orang-orang bahwa kalau Limunas yang bikin, acaranya pasti bagus. Itu harus dijaga,” kata Soni.

Dari sudut pandang penonton acara musik, Fahmi Khoirusanni, mahasiswa yang kerap hadir menikmati acara bersponsor maupun tidak, memiliki pandangannya sendiri. Menurutnya alangkah lebih baik ketika EO berponsor tetap mengapresiasi bibit-bibit lain di luar edaran band-band mayor dan EO indi bisa menyuguhkan konsep mutakhir demi pengalaman lain dalam mengapresiasi musik secara baru.

“Daftar penampil tidak perlu itu-itu saja karena masih banyak band underrated yang belum mendapat banyak panggung. Sedangkan EO indi juga perlu menghadirkan nilai lain dalam menawarkan suguhan musik yang tidak konvensional. Ketika itu berjalan beriringan, industri musik tentu akan lebih sehat ke depannya,” tutur Fahmi.

Ke depan, pekerjaan ekstra, menurut Soni, justru lebih dibebankan terhadap para penyelenggara acara musik indi dibanding EO berponsor besar. Ia melihat, kerapuhan yang menyebabkan pendeknya usia para EO indi disebabkan oleh pergerakan individual, selain karena sebab keterbatasan dana, dan moda produksi yang kurang bagi mereka. Perlu ada jaringan yang lebih terintegrasi dan saling-dukung satu sama lain agar bisa menciptakan ekosistem industri musik yang lebih bagus.

“Beberapa pihak sudah punya wacana membuat semacam koperasi yang mengintegrasikan satu EO dan EO lain sehingga, ketika mereka hendak membuat acara biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit. Ini terlihat sederhana namun belum terlaksana di Indonesia karena memang susah untuk menciptakan jaringan yang saling terintegrasi seperti itu,” ucap Soni.