Oleh Rizky Adinda Febriyanti
Menjadi musisi tidak hanya memberi ruang untuk mengekspresikan perasaan, tetapi juga untuk menyuarakan isu-isu sosial. Inilah yang dilakukan Gusti Arirang (28) bersama bandnya, Tashoora, yang terbentuk dan aktif semenjak tahun 2016.
Didukung latar belakang keluarganya di bidang seni, musik menjadi ruang aman dan nyaman bagi Gusti untuk melakukan aktivisme sosial. Dalam salah satu artikel Kumparan, Gusti selaku vocalist-bassist Tashoora menyebutkan bahwa mereka mengungkap permasalahan sosial yang sering tidak dihiraukan masyarakat.
Di tahun 2019 misalnya, Tashoora mengangkat kasus kekerasan seksual yang dialami seorang mahasiswi UGM ketika KKN melalui lagu berjudul “Agni”. Selain itu, lagu terbaru mereka yang bertajuk “Aparat” diproduksi dengan kolaborasi bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Lagu yang rilis bulan Oktober 2020 ini menyuarakan isu kekerasan dan kasus salah tangkap di Indonesia yang telah terjadi bertahun-tahun.
“Aktivisme itu punya semua orang, semua orang boleh melakukannya. Napas aktivisme itu panjang dan harus selalu ada,” kata Gusti. Santai sambil menikmati makan siang, Gusti berbagi perspektif tentang aktivisme melalui musik kepada Warga Jogja (01/05).
Menurut Gusti, mengapa musik bisa menjadi corong ekspresi atau medium yang efektif untuk menyuarakan isu-isu sosial?
Musik menjadi efektif bagi saya dan Tashoora, sederhananya karena ini merupakan cara yang paling dekat dengan kami, cara yang sama-sama nyaman untuk kami. Buat kami ini juga ruang aman, jadi kami memilih medium ini. Namun, terkait apakah cara ini yang paling efektif, saya tidak punya alat ukur untuk memvalidasinya. Kami percaya bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam bersuara yang tentu baik adanya. Setiap kontribusi pasti punya peran penting sebab pada dasarnya, ini adalah usaha bersama.
Kemudian, bagaimana cara melibatkan perspektif masyarakat yang dibela atau menjadi korban dalam lagu-lagu yang diproduksi?
Ketika kemarin menulis lagu “Agni” misalnya, kami menghubungi korban, pelaku, UGM sebagai lembaga yang bertanggung jawab, dan pers. Hal ini bertujuan untuk memantapkan perspektif meskipun sejak awal kami telah memiliki pedoman. Bagi kasus kekerasan seksual, prinsipnya seluruh pernyataan korban adalah benar sampai terbukti sebaliknya. Proses ini juga berperan menambah wacana serta membantu penentuan langkah-langkah advokasi isu secara lebih strategis.
Pada artikel Kompas di tahun 2019, Tashoora disebutkan melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga. Bagaimanakah bentuk kolaborasi yang dilakukan?
Salah satu bentuk kolaborasi yang menghasilkan output ialah dengan LBH Jakarta. Kolaborasi ini menghasilkan lagu Aparat. Awal tahun 2019 lalu, kami pindah ke Jakarta dan kebetulan sedang dalam proses membuat lagu tentang kasus salah tangkap. Dalam panggung pertama kami di rangkaian acara Reformasi Dikorupsi, kami bertemu dengan Mas Azka, staf kampanye LBH Jakarta yang ternyata juga sedang menggarap kasus salah tangkap. Kemudian, kami berkolaborasi bersama LBH Jakarta dalam riset untuk produk musik kami. Tak hanya itu, kami pun sering dilibatkan untuk diskusi, advokasi, hingga proses penyidikan. Dari berbagai proses advokasi dan pengumpulan data inilah kami memproduksi lagu Aparat.
Gusti menyebutkan bahwa Tashoora selalu melakukan riset untuk isu yang diangkat. Mengapa riset juga penting dilakukan dalam proses produksi lagu yang merupakan produk seni dan kreativitas?
Sebenarnya bagi kami bukan riset melainkan proses memperdalam pemahaman. Namun bagi saya pribadi, lagu sebagai produk bermusik ini nantinya akan didengarkan oleh banyak orang. Sama seperti berita yang memiliki tanggung jawab berbicara kebenaran, begitu pula musik. Fakta-fakta yang disampaikan dalam musik harus tetap dipastikan betul meskipun terdapat statement pribadi.
Berkaitan dengan peran perempuan dalam aktivisme sosial, salah satu persoalan yang terjadi adalah tidak sedikit perempuan Indonesia mewajarkan tindakan diskriminasi atau marjinalisasi. Apakah Gusti setuju? Apakah penting membangun awareness perempuan Indonesia terhadap hal tersebut?
Saya sangat setuju. Tidak hanya isu perempuan tetapi juga isu sosial secara umum. Kami sering diberi pertanyaan, “Kenapa menulis lagu tentang isu ini?”, padahal kami juga bertanya-tanya “Kenapa orang-orang tidak membicarakan ini?”. Lebih berbahaya kalau kita nggak merasa ini sebuah masalah. Karena itu, sangat penting untuk terus berbicara tentang permasalahan dan isu sosial, termasuk tentang diskriminasi perempuan.
Lalu, apakah penting memberi ruang bagi perempuan untuk melakukan aktivisme sosial?
Pemberian ruang bagi perempuan merupakan salah satu cara yang sangat penting dan sederhana untuk memberi peran dan kesetaraan. Namun masih banyak perempuan yang mewajarkan adanya dominasi laki-laki dalam diskusi (male panel) karena menganggap laki-laki memiliki kapabilitas lebih baik. Hal ini cukup disayangkan. Kita sering lupa bahwa akses ilmu bagi perempuan agar dapat bersaing dan setara dengan laki-laki sejak dulu sulit didapatkan. Karena itu, kita dapat memulainya dengan memberikan ruang pada perempuan.
Berbicara tentang ruang, apakah menurut Gusti sebagai aktivis perempuan, sudah ada ruang aman bagi perempuan untuk menyuarakan isu-isu sosial melalui seni? Ataukah masih ada tantangan?
Selama menjadi musisi, saya tidak pernah mengalami diskriminasi. Meskipun dalam proses ‘pengkaryaan’ cukup aman, di luar proses tersebut belum seratus persen. Kita tidak bisa menutup mata akan diskriminasi perempuan dalam dunia musik yang masih sering terjadi. Misalnya, teman saya yang sound engineer sering mengalami diskriminasi karena ruang pekerjaannya didominasi laki-laki. Sementara itu, tantangan bagi perempuan lebih dialami oleh mereka yang merupakan bagian dari LGBT atau terang-terangan pro LGBT.
Secara umum, bagaimana tren aktivisme melalui musik di Indonesia? Apakah ke depannya ada peluang meningkatnya tren ini?
Aktivisme melalui musik sudah ada sejak dulu, salah satu yang terkenal ialah Iwan Fals. Selain beliau, saya yakin pasti ada orang-orang yang berani angkat bicara, khususnya gerakan akar rumput yang meski jarang terdengar tetapi memiliki banyak kontribusi.
Terkait peluang, saya justru meyayangkan apabila menjadi tren karena biasanya setelah naik kemudian hilang. Akan lebih potensial apabila teman-teman musisi yang punya pendengar bisa lebih lantang bersuara. Mereka memiliki peran yang cukup esensial untuk menggerakkan massa dan melakukan advokasi.
Gusti juga berharap agar lebih banyak orang yang tergelitik dan berani mengungkap masalah-masalah sosial di Indonesia. Tidak harus public figure, menurutnya semua orang bisa memulainya melalui orang-orang terdekat. (Editor: Renatta Karuna Dharani)