Jogja Records Store Club: Rampai Gerai Rilisan Fisik Musik Kota Vakansi

jogja-records-store-club-rampai-gerai-rilisan-fisik-musik-kota-vakansi
Anggota Jogja Records Store Club saat berada di Acara FLOH MARKT Fest di Lippo Plaza Jogja, 17 Januari 2016

oleh Dwiki Aprinaldi

Bermula dari kebingungan konsumen mencari lokasi rilisan fisik musik di Yogyakarta, Jogja Records Store Club muncul ke permukaan sebagai kolektif pelapak rilisan fisik perdana yang ada di Indonesia –lebih dari sekadar menjual pun mengembalikan romantisme format lawas rilisan musik.

Pada 10 April 2015, Jogja Records Store Club lahir. Sebuah tunas awal yang kemudian menjadi cikal sekumpulan penjual rilisan fisik musik pertama yang ada di Indonesia. Sebanyak 38 toko rilisan musik baik online maupun offline yang tersebar di seluruh penjuru Yogya masuk ke dalam kolektif ini.

Tercatat, berbagai gerai yang menjual nutrisi rungu dalam berbagai format yang kerap malang-melintang di sosial media seperti: Yogya Music Store, Yes No Shop, Doggyhouse Records, Roots Musik, Rilisan Fisik, Demajors Jogja / JNM Art Shop, dsb turut hadir dalam daftar kolektif ini.

Sambreng, seorang di balik geliat penjualan rilisan fisik keluaran Demajors (label rekaman independen) cabang Jogja adalah salah satu dari dua inisiator proyek Jogja Records Store Club. Selain Martinus Indra Hermawan (Menus) –yang namanya terkenal di kalangan penggiat musik lokal maupun nasional baik sebagai seorang musisi noise, koordinator tur YKBooking, general manager Doggyhouse Records, hingga inisiator Jogja Noise Bombing.

Sebab dibentuknya kolektif ini sendiri diakui Sambreng karena sering sekali para konsumen mengalami kebingungan ketika mencari alamat toko yang menyediakan rilisan fisik musik tertentu. Pria yang mulai berjualan rilisan fisik musik mulai tahun 2012 ini menuturkan, meskipun dia telah menjelaskan secara komprehensif di mana lokasi toko rilisan fisik musik itu sampai dengan menggambarkan petanya di secarik kertas, calon pembeli masih saja belum paham dikarenakan banyak dan lain hal seperti: calon pembeli bukan orang asli Yogyakarta.

“Mereka bingung itu alamatnya di mana, dan harus saya gambar petanya, tapi mereka tetap bingung. Akhirnya kami (Jogja Records Store Club) punya pemikiran yang sama. Pertama kami coba berbagi kartu nama biar bisa diakses pembeli, tapi susah untuk itu karena mereka juga tidak hafal nama jalannya, akhirnya kami punya ide untuk membuat sebuah peta,” ungkap pria dengan panggilan akrab ‘Paman Samb’ ini.

Paman Samb di JNM Art Shop
Paman Samb di JNM Art Shop

Dari sini, proyek Yogyakarta Records Store Map lahir. Proyek peta yang baru pertama kali ada di Indonesia ini mereplika sebuah proyek serupa yang diinisiasi oleh Kedai Kebun Forum. Galeri seni alternatif yang terletak di bilangan Tirtodipuran, Yogyakarta ini membuat sebuah proyek yang masih berjalan sampai sekarang dan pertama kali direalisasikan di tahun 2008 dengan tajuk: Yogyakarta Contemporary Art Map –sebuah peta dengan gambaran 53 lokasi galeri seni alternatif di seluruh Yogyakarta.

Yogyakarta Record Store Map saat dirilis pada Cassette Store Day Sabtu (17/9 ,2015) di Bentara Budaya Kompas, Yogyakarta
Yogyakarta Record Store Map saat dirilis pada Cassette Store Day Sabtu (17/9 ,2015) di Bentara Budaya Kompas, Yogyakarta

Dibuat secara kolektif dengan dana patungan dan beberapa sponsor dari perusahaan yang mendukung perkembangan musik di Indonesia, Yogyakarta Records Store Map mulai disebarkan untuk pertama kalinya pada event Cassette Store Day –sebuah acara global tahunan yang merayakan hari raya rilisan fisik kaset, yang di Yogyakarta sendiri digelar di halaman Bentara Budaya Kompas, Yogyakarta pada 17 Oktober tahun lalu. Dicetak sebanyak 500 buah, peta yang bisa diambil secara gratis bagi siapa saja yang ingin mengaksesnya ini kini telah habis.

“Kami (Jogja Records Store Club) ingin menunjukkan ke orang-orang luar dan dalam Yogyakarta bahwa kita punya map yang bisa diambil secara gratis dan bisa menjadi tujuan wisata alternatif. Yang suka rilisan fisik musik dengan membawa map tadi bisa tahu tempat records store di Yogyakarta itu di mana saja,” tambahnya.

Selain Sambreng, Menus turut membagikan pandangannya terkait Yogyakarta Records Store Map. Menurutnya proyek ini mampu membantu orang dalam berburu rilisan fisik musik terkait direksi: terutama bagi orang luar Yogyakarta. Lebih-lebih lagi ketika melihat Yogyakarta dengan titik lokasi toko musik yang menyebar di beberapa sudut kota/pelosok desa. “Kami tidak hanya mencantumkan toko musik saja, tetapi juga penjual rilisan second yang biasa berjualan di rumah maupun pasar tradisional,” ungkapnya.

Proyek peta semacam ini mungkin akan tidak efektif jika diberlakukan di kota lain. Apalagi kota metropolis seperti Jakarta –yang sudah memiliki lokasi gerai yang menyatu (Blok M, Pasar Santa). “Orang tinggal ke sana sudah menemukan banyak toko. Kalau di Yogyakarta masih terpencar-pencar dan tidak semuanya punya sosial media, jadi tergantung kondisi di kota masing-masing,” tuturnya.

Sedang di Yogyakarta, pembuatan peta ini akan diadakan selama setahun sekali sekaligus memperbarui lokasi penjualan selalu bertambah setiap saat. Selain proyek ini, Jogja Records Store Club juga memiliki beberapa program kegiatan seperti: Records Store Day di setiap bulan April, Cassette Store Day di setiap Oktober, dan membuka stand lapak di setiap event musik yang hampir setiap minggu dihelat di beberapa sudut kota Yogyakarta.

Kegiatan Records Store Day Yogyakarta 2015, Sabtu (17-09) di Bentara Budaya Kompas, Yogyakarta
Kegiatan Records Store Day Yogyakarta 2015, Sabtu (17-09) di Bentara Budaya Kompas, Yogyakarta
Anggota Jogja Records Store Club saat kegiatan Records Store Day Yogyakarta 2015, Sabtu (17-09) di Bentara Budaya Kompas, Yogyakarta
Anggota Jogja Records Store Club saat kegiatan Records Store Day Yogyakarta 2015, Sabtu (17-09) di Bentara Budaya Kompas, Yogyakarta

Berbeda lagi dari sisi penjual. Proyek peta ini menuai pandangan divergen menurut penggiat musik dari kancah gelanggang lain, bagi Soni Triantoro –seorang jurnalis Rolling Stone Indonesia dan Warning Magazine, proyek semacam ini turut menjadi salah satu elemen krusial dalam upaya menjaga nafas rilisan fisik atau kancah musik itu sendiri, baik dari segi bisnis maupun sosiologisnya.

“Saya belum terlalu paham dengan situasi dan tantangan yang dihadapi para pelapak ini, namun seperti halnya pergerakan lain, adanya istilah ‘kolektif’ di situ menunjukkan adanya upaya membangun iklim yang lebih baik dalam penciptaan ruang-ruang aktivitas para pelapak tersebut,” ungkapnya.

Berbicara mengenai proyek peta Yogyakarta Records Store Map, pria asal Yogyakarta ini membagikan pemikirannya. Baginya, membuat peta semacam ini merupakan gagasan atau langkah yang sederhana dan niscaya memiliki pengaruh konkret jika proyek ini memang berfungsi untuk menginformasikan pada orang-orang di mana kita bisa membeli rilisan fisik musik, dan bisa jadi bukan hanya pelapak yang hanya mendapatkan manfaatnya di situ, karena ada toko yang tidak pernah membuka lapak juga tercantum di dalamnya.

Soni menuturkan dengan jelas jika ide ini mempermudah orang mencari rilisan fisik musik, namun di lain sisi menurutnya masih banyak orang yang kebingungan untuk mencari rilisan fisik musik dikarenakan kalangan yang menerima peta ini masih dalam lingkaran yang sempit.

Ditanya perihal ini, Jogja Records Store Club telah memiliki rencana ke depan untuk memperluas jangkauan penyebaran akses peta ini. Ekspansi dalam bentuk website yang nantinya berisi peta dan info terkini mengenai records store di Yogyakarta telah menginjak proses awal. ”Pembuatan peta sendiri memerlukan dana yang tidak sedikit serta penyebarannya pun masih terbatas, maka dari itu pembuatan versi website akan menjadi salah satu solusi,” kata Menus.

Selain menjual rilisan fisik pun dengan kausa “mengembalikan romantisme rilisan fisik musik”, Jogja Records Store Club juga memiliki tujuan mulia di balik setiap kegiatannya. Bak misioner yang berupaya menyebarkan ajaran kudus, aktivitas seperti berbagi info dan edukasi terkait rilisan fisik musik dilakukan Jogja Records Store Club di sela-sela kegiatannya. “Semisal first press itu apa, grading rilisan itu bagaimana, atau ketika pembeli menanyakan apakah sebuah rilisan itu rare atau tidak. Jadi sebisa mungkin pembeli tidak tertipu dengan embel-embel rare tersebut,” jawab Menus mengenai info apa saja yang saling dibagikan kepada pembeli.

Aksi tersebut juga dibuktikan dengan gelaran “Workshop Membersihkan serta Merawat Kaset dan Vinyl oleh Jogja Records Store Club” yang dihelat pada Sabtu, 12 Maret lalu di galeri LIR Space. [Dwiki Rahmad Aprinaldi]