Kampung Dolanan Pandes, Surga Mainan Tradisional

SIMBAH ATEMO
Mbah Atemo sedang membuat dolanan kitiran berbahan dasar kertas bekas yang telah diberi warna di rumahnya, Rabu (8/6).

oleh Putri Gita Cempaka

Permainan tradisional anak, salah satu sarana belajar yang penting, kini semakin tergusur oleh mainan modern. Keresahan akan pudarnya mainan tradisional membuat warga Desa Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul berupaya melestarikan dolanan anak dengan mengemasnya dalam kegiatan wisata. Kini, nostalgia dan kerinduan akan dolanan anak seperti kitiran, manukan, dan othok-othok dapat sedikit terobati melalui Kampung Dolanan.

Kampung Dolanan ini muncul dari inisiatif sejumlah warga di Dusun Pandes setelah tragedi Gempa 2006. Salah satu tujuannya adalah membantu pemulihan trauma anak-anak akibat gempa. Warga pun menghidupkan kembali Desa Pandes yang di masa lalu pernah menjadi pusat pembuatan dolanan anak.

Saat pengunjung memasuki kawasan Kampung Dolanan, patung-patung jerami yang mengenakan pakaian tradisional telah siap menyambut. Begitu juga dengan patung yang terbuat dari anyaman bambu. Memasuki kawasan ini lebih jauh, pengunjung atau wisatawan akan diajak untuk melihat bahkan ikut membuat dolanan anak sembari bernostalgia. Para sesepuh masih sangat lihai dalam membuat pola mainan tradisional. Kampung Dolanan juga memiliki kawasan outbond dan track yang menyenangkan, kolam lele, sawah luas, dan tempat bermain gamelan lengkap dengan guru seni.

Bagi generasi sebelum 2000-an, othok-othok menjadi mainan ‘wajib’ baik laki-laki maupun perempuan. Mainan ini berbahan kaleng susu bekas, bambu, dan hiasan kertas dengan gagang kayu. Othok-othok selalu menjadi idola anak-anak karena menimbulkan bunyi yang berisik namun berkesan. Tidak hanya mainan ini yang banyak ditemui di Kampung Dolanan, namun wayang kertas, angkrek, kitiran, manukan, dan permainan tradisional seperti geprekan, gamelan, tari-tarian juga akan membuat pengunjung semakin akrab dengan dolanan tradisional anak. Kisaran harga mainan tradisional yang umumnya berbahan kertas bekas dan bambu ini adalah Rp 2.500,00 hingga Rp 25.000,00.

“Tiap permainan memiliki multiple intelligent (kecerdasan majemuk) yang terdiri atas kecerdasan irama, kinestetis dan rasa, atau dalam bahasa Jawa disebut wiromo, wirogo, dan wiroso. Untuk itu Kampung Dolanan ada,” ujar Wahyudi, salah satu penggagas komunitas Pojok Budaya di Kampung Dolanan.

Kampung Dolanan menawarkan keberagaman dolanan anak yang hingga kini masih menjadi daya tarik begi wisatawan. Meski belum memiliki kegiatan rutin setiap harinya, pengelola Kampung Dolanan yaitu warga bersama dengan komunitas Pojok Budaya aktif mengajari anak-anak cara membuat dolanan dalam rangka nguri-uri kebudayaan. Kunjungan door to door ke rumah para pengrajin, outbond, dan rangkaian acara permainan tradisional juga selalu dilakukan apabila Kampung Dolanan menerima kunjungan, baik dari sekolah, media, maupun turis asing.

“Kegiatan untuk kunjungan wisata biasanya sudah kami jadikan satu paket. Kalau tidak ada kunjungan, ya sepi seperti kampung biasa. Tapi kalau aktivitas membuat dolanannya, simbah-simbah tetap produktif setiap hari,” ujar Sekar, salah satu pengelola Pojok Budaya. Dalam satu bulan, Kampung Dolanan dapat menerima kunjungan besar sebanyak dua kali, baik dari sekolah maupun media. Namun sejak dipromosikan di banyak media nasional dan internasional, Kampung Dolanan menjadi lebih sering menerima kunjungan mendadak meski jumlahnya tidak pasti.

Kampung Dolanan ternyata memiliki asal usul yang memang tidak jauh dari dolanan anak. Di masa lalu, desa ini menjadi sentral pembuatan dan produksi mainan tradisional di DIY dan sekitarnya. Sebagian besar warganya berprofesi sebagai pengrajin mainan yang ulung dan terkenal. Namun, kemajuan zaman rupanya mampu menggusur mainan tradisional dari rumahnya sendiri. Saat ini, hanya segelintir yang mampu mewarisi keahlian membuat mainan tradisional.

Para pengurus Kampung Dolanan terus berusaha berinovasi untuk lebih menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara agar eksistensi dolanan tradisional anak lebih terjamin.

Pojok Budaya adalah salah satu komunitas di Pandes yang membantu operasional produksi mainan tradisional dan kepengurusan Kampung Dolanan. Pojok Budaya terdiri dari para pemuda Karang Taruna Desa Pandes dan beberapa mahasiswa luar yang ikut membangun Kampung Dolanan.

Semangat para lansia atau sesepuh di Kampung Dolanan pun patut diacungi jempol, karena hampir tiap hari mereka menghasilkan puluhan dolanan anak untuk dijual. 

Semangat itu tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari Mbah Atemo, salah satu pengrajin mainan tradisional. Sudah sejak muda ia mengenal dolanan dan hingga kini ia aktif menggarap kepet atau kipas, angkrek atau wayang kertas, manukan, dan kitiran. Pembeli mainannya pun didapat saat ada kunjungan ke rumahnya.

“Kalau omzet atau keuntungan ya hampir tidak ada. Bambu saja sekarang tidak bisa nebang sendiri, harus beli. Tapi produksi dolanan ini kan nggak hanya soal keuntungan. Yang terpenting simbah punya kegiatan yang menghibur di masa tuanya,” ujar Sri, anak Mbah Atemo yang membantu beliau berkomunikasi karena usia simbah yang sudah 80 tahun.

Produksi dolanan di Desa Pandes tidak semata-mata menjadi mata pencaharian atau penghasilan tambahan bagi para sesepuh. Meski secara fisik dolanan adalah sebuah benda mati, tiap dolanan yang diciptakan oleh para simbah memiliki sejuta makna yang ingin disampaikan, terutama nilai-nilai luhur.

Sayangnya mainan-mainan ini belum tersebar luas karena pengrajinnya semakin berkurang dan jarang ada yang menularkan ilmu membuat dolanan ke orang lain. Bahkan, terkadang justru para orangtua yang sudah pesimis terlebih dahulu untuk mengajarkan keahlian ini pada anaknya.

Suratni, salah satu warga lansia yang ada di Desa Pandes, menuturkan bahwa semakin punahnya mainan tradisional saat ini bukan salah generasi muda sepenuhnya. “Memang kami, kaum tua, banyak yang sengaja tidak mengajarkan keahlian membuat mainan tradisional ke anak-anak. Saat itu membuat dolanan tidak menghasilkan apa-apa. Kita hidup juga butuh makan,” ujar Suratni.