Wayang Kertas, Membangkitkan Seni yang Mati Suri

Beberapa wayang kertas karya Tertib Suratmo (76) yang terdiri dari Gunungan serta tokoh-tokoh Pandawa dan Kurawa. (09/06/16)
Beberapa wayang kertas karya Tertib Suratmo (76) yang terdiri dari Gunungan serta tokoh-tokoh Pandawa dan Kurawa (09/06).

oleh Ichsan Rachmadi

YOGYAKARTA – Wayang merupakan produk budaya Nusantara yang sarat makna. Tapi, seiring perkembangan zaman, peminat wayang semakin menurun. Seniman asal kampung Dipowinatan, Tertib Suratmo (76), berusaha membawa wayang kembali ke masyarakat. Dengan mengubah medianya dari kulit ke kertas, ia berharap wayang tidak lagi menjadi barang mewah yang hanya bisa dibeli orang berpunya.

Menurut Tertib, kurang dekatnya anak muda dengan seni Nusantara tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada anak atau pun perkembangan zaman. Untuk seni wayang, pengenalan sulit dilakukan karena pentas wayang yang semakin sedikit. Untuk membeli wayang kulit pun butuh biaya setidaknya Rp 200 ribu, sehingga tidak semua orangtua bisa memperkenalkan wayang kulit pada anak mereka.

Dari sini Tertib memiliki ide untuk membuat wayang kertas, yang harganya jauh lebih murah ketimbang wayang kulit. Dengan harga mulai dari Rp.15.000, seseorang sudah bisa memesan satu unit wayang kertas dari Tertib.

Tertib tidak hanya menyediakan wayang dari tokoh pewayangan konvensional seperti Pandawa, Kurawa, atau Punakawan, tapi juga dalam bentuk binatang seperti ular, gajah, kera dan jerapah. Dengan harga murah, bentuk yang menarik dan beragam, ia berharap wayang kertas mampu berkontribusi memperkenalkan kembali kesenian wayang pada masyarakat luas terutama anak-anak.

“Ini tujuannya untuk pelestarian budaya. Supaya wayang dikenal wong cilik juga lah. Biar anak-anak juga bisa bermain sambil belajar wayang,” ujar Tertib.

Tampaknya niat mulia Tertib disambut baik oleh berbagai pihak. Mulai tahun 2010, ia menjadi pengisi stand gelar kerajinan dan kuliner tahunan bertajuk “Pasar Kangen” di Taman Budaya Yogyakarta.

Pada 2015, ia berkesempatan mengisi pameran wayang kertas di Balai Soedjatmoko, Solo. Acara terdekat yang baru-baru ini melibatkan wayang kertas buatan Tertib adalah “Festival Sekolah Keluarga” yang diadakan Sanggar Anak Alam (SALAM) pada 30 April-2 Mei 2016 lalu.

Pada acara “Festival Sekolah Keluarga”, Tertib berkesempatan menunjukan proses pembuatan wayang kertas di hadapan ratusan pengunjung yang datang. Mulai dari buka hingga tutup pameran, ia mengerjakan sejumlah wayang untuk para murid dan orang tua murid SALAM.

Ketua Panitia “Festival Sekolah Keluarga”, Hermita Titi Sekartaji (32), mengatakan animo pengunjung terhadap karya Tertib sangatlah baik. Terlebih SALAM sebagai sekolah dengan kurikulum alternatif mengedepankan pendekatan kebudayaan dalam kegiatan belajar-mengajarnya.

“Wayang kertas Pak Tertib kami pakai untuk mendongeng, menyampaikan materi, dan sebagai alat bantu dalam mengajar baca-tulis-hitung,” ujar Hermita. Meski dalam waktu dekat SALAM belum akan mengadakan acara serupa, namun Hermita yakin pihaknya akan mengadakan kerjasama dengan Tertib di masa yang akan datang.

Selain diminati oleh anak-anak, wayang kertas pun berhasil mencuri hati orang dewasa. Kolektor dan pecinta wayang, Suman Hardjosoebroto (73) mengaku telah 10 tahun mengoleksi wayang kertas karya Tertib Suratmo. “Memang saya dari kecil suka dan sering menonton wayang. Tetapi wayang kulit asli kan mahal, jadi saya koleksi ini (wayang kertas). Walau begitu ini juga bagus, tatahannya sangat rapi,” seru Suman.

Suman telah cukup lama mengenal Tertib dan mengoleksi karyanya. Ia masih ingat betul wayang kertas pertama yang ia beli dari Tertib. Satu set tokoh Pandawa Lima beserta beberapa tokoh Kurawa. Menurutnya wayang kertas buatan Tertib memiliki satu kelemahan yaitu lamanya proses pembuatan. Namun ia memaklumi karena umur Tertib yang tak muda lagi. Selain itu pesanan yang harus dikerjakan Tertib sangatlah banyak.

Tertib mengakui bahwa usia senjanya menjadi halangan terbesar dalam mengerjakan pesanan yang masuk. Mata yang tidak lagi awas dan tangan yang semakin mudah lelah adalah alasan utamanya. Tertib selalu memperingatkan calon pembeli bahwa ia jarang bisa memprediksikan kapan pesanan mereka bisa selesai.

“Saya tidak mau menyewa pekerja karena saya menjaga mutu. Kalau mendapat pekerja yang asal-asalan hanya akan menghambat. Sayanya sudah pusing karena pekerjaan banyak. Ada pegawai tapi pekerjaannya tidak bagus juga malah tambah pusing,” tutur Tertib.

Sejak dulu Tertib selalu mengerjakan pesanan sendiri. Anak-anaknya sudah memiliki pekerjaan masing-masing dan tidak mampu melanjutkan kerajinan sang ayah. Ia tidak bisa menggaji pegawai karena pendapatannya dari kerajinan wayang kertas ini pun pas-pasan. Selain itu Tertib merasa menambah pegawai hanya akan memperlambat pekerjaannya.

Tertib berharap ke depan pemerintah atau sanggar seni lain memberinya kesempatan untuk mengajar pembuatan wayang kertas kepada anak-anak. Dengan begitu kerajinan wayang kertas ini bisa terus berlanjut sepeninggalnya kelak.

“Jika ada yang niat belajar saya mau mengajarkan, gratis. Jangan sampai orang Jawa melupakan kebudayaannya sendiri,” pungkas Tertib.

Di temui di bengkel kerjanya, Tertib Suratmo menuturkan bagaimana kisahnya hingga menjadi pengrajin wayang kertas saat ini. Di masa muda ia menghidupi keluarga dengan aktif di berbagai  teater. Mulai dari Teater Dinasti, teater kecil di kampungnya hingga bermain dengan nama besar seperti W.S Rendra di Bengkel Teater. Karena latar belakangnya yang lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), selain menjadi aktor Tertib sering mendapatkan tugas sebagai setting director dan property man. Dari sinilah ia diberi julukan ‘Tertib’ oleh W.S. Rendra yang mengakui ketelatenannya dalam membuat properti dan dekorasi untuk pentas.

“Kalau Jakarta di Taman Ismail Marzuki itu bisa dikatakan kami rutin (pentas). Sampai ke Bandung dan Bogor. Kalau di Jawa Timur biasa ke Jember, Surabaya, Malang,” kenang Tertib.

Namun seiring waktu kebutuhan penghidupan keluarga semakin banyak. Tertib memilh menjadi PNS sejak 1981 dan mengurangi kegiatannya di teater hingga tiba masa pensiunnya pada 1999. Setelah pensiun, ia kembali ke dunia seni dengan bergabung di Teater Perdikan binaan Emha Ainun Nadjib.

Pada masa-masa ini, Tertib mulai meresahkan tentang keberadaan wayang. Ia masih ingat ketika menghabiskan masa kecilnya di Klaten, sang ayah sering membuatkan wayang-wayangan yang terbuat dari suket. Setiap ada pentas wayang dekat rumah, ia pasti akan pergi menonton. Ia ingin mereproduksikan kenangan masa kecil dan kecintaannya pada wayang kepada anak-anak sekarang.