Lurik Tradisional, Mempertahankan Kesederhanaan dalam Pembuatan

Oleh: Namira Putri

Keberadaan lurik hasil tenun tradisional semakin tergeser oleh munculnya lurik buatan mesin. Padahal terdapat makna dan filosofi di balik pembuatan kain legendaris ini. Tenun Lurik Kurnia dan Dibyo Lurik di Sewon, Bantul merupakan pembuat lurik yang berusaha mempertahankan tradisi dalam pembuatan lurik.

Suasana tempat produksi Tenun Lurik Kurnia di Krapyak Wetan, Panggungharjo, Sewon, Bantul yang telah berdiri sejak  1962 (7/4). Dirintis oleh Dibyo Sumarto dan diteruskan secara turun temurun oleh anak cucunya, Tenun Lurik Kurnia bersama Dibyo Lurik menjadi satu-satunya pengusaha lurik di Bantul yang tetap mempertahankan penggunaan alat tenun bukan mesin (ATBM).

 

Dalam setiap helai benang, penenun menyelipkan “doa” bagi pemakai Lurik, sesuai dengan makna filosofis kain tersebut yaitu “rik” atau “pagar pelindung” . “Peristiwa ini tidak terjadi pada lurik yang dibuat oleh mesin,” kata Jussy Rizal, pemilik sekaligus pengelola Dibyo Lurik (7/4).

 

Lurik berasal dari kata “lorek” yang dalam bahasa Jawa berarti garis, sehingga motif kain ini utamanya berupa berbagai macam garis, baik vertikal, horizontal, maupun garis bersilangan (motif kotak). Menurut Pengelola Tenun Lurik Kurnia, Rian, motif Hujan Gerimis adalah motif yang cukup rumit karena membutuhkan beberapa kali proses pewarnaan sehingga dapat menghasilkan warna benang yang berbeda dalam satu kain (7/4).

 

Proses pembuatan lurik tenun dimulai dari pewarnaan. Sebelum dicelup dengan pewarna tekstil, benang-benang dicuci terlebih dahulu. “Proses pewarnaan benang berlangsung selama satu hingga dua hari, tergantung cuaca saat menjemur,” kata Juri, tenaga bagian pewarnaan di Tenun Lurik Kurnia (12/4).

 

Malet atau Kelos adalah proses kedua dalam pembuatan kain lurik. Setelah benang mentah diwarnai dan dijemur, benang tersebut akan dipintal menjadi gulungan-gulungan kecil (palet) atau gulungan-gulungan besar (klos) (12/4).

 

Setelah benang-benang berbagai warna dipintal, proses selanjutnya adalah Sekir, yaitu saat gulungan benang-benang tadi dirangkai menjadi sebuah motif. Proses Sekir di Tenun Lurik Kurnia dijalankan oleh 2 orang (7/4).

 

“Susahnya menenun lurik itu kalau dapat benang yang terlalu halus dan mudah patah, kadang tali ATBM juga bergeser. Saat sudah capek menenun, benangnya jadi renggang-renggang. Nantinya kain hasil tenunan tidak kelihatan bagus,” ujar Endang, salah satu penenun di Dibyo Lurik (7/4). Endang dan penenun lainnya di sekitar Krapyak umumnya bekerja selama 6-7 jam sehari, dari pagi hingga adzan Ashar tiba.

 

Regenerasi penenun adalah kendala utama para pengusaha tenun lurik tradisional. Sebagian besar penenun di Dibyo maupun Kurnia Lurik memiliki usia yang tak lagi muda, yakni 60 tahun ke atas. Untuk mengatasi hal tersebut, Jussy Rizal selaku pengelola Dibyo Lurik dan Rian selaku pengelola Tenun Lurik Kurnia berusaha merambah ke pelosok desa setempat untuk memberdayakan warga sekitar, utamanya para ibu rumah tangga atau petani yang tidak sedang menjalani masa tanam dan panen (7/4).

 

Banyak warga lokal lebih memilih membeli kain lurik buatan mesin karena harganya yang lebih murah. Padahal, Lurik ATBM memiliki keunikan bila dibandingkan lurik produksi mesin, yaitu tekstur kain yang khas. “Kalau mesin itu hasil tenunnya rata sekali, konsisten. Kalau ATBM ada tekstur pada kainnya yang hanya bisa dihasilkan penenun,” kata Rian, pengelola Tenun Lurik Kurnia (7/4).

 

Tak sebatas pada kain, Tenun Lurik Kurnia menjual surjan dan kemeja dari kain lurik seharga seratus ribu hingga dua ratus lima puluh ribu rupiah. “Sebetulnya minat masyarakat terhadap kain lurik sedang naik-naiknya saat ini. Sayangnya mereka lebih tertarik pada barang jadi, ketimbang proses pembuatan lurik itu sendiri,” kata Jussy Rizal, pemilik dan pengelola Dibyo Lurik (7/4).