Merepresentasikan Kaum Marginal Melalui Seni di Biennale Jogja XV

To Balo Karya M. Muhlis Lugis yang menceritakan orang belang di Sulawesi Selatan (12/11)

Oleh: Nur Syafira Ramadhanti

Pelataran Jogja National Museum (JNM) ramai dipenuhi sampah plastik sejak Minggu, 20 Oktober 2019. Tidak hanya pelatarannya, ruang-ruang bersekat di dalam JNM pun diisi dengan berbagai benda, ada juga rekaman video yang diputar. Semua ini adalah karya seni yang memang sengaja dipamerkan dalam gelaran Biennale Jogja XV.

Biennale tahun ini adalah gelaran kelima dalam seri gagasan Khatulistiwa yang dicanangkan sejak 2010. Seri ini menjelajahi, mengulik, menginvestigasi, dan menerjemahkan berbagai konteks dan fenomena kompleks dalam kehidupan masyarakat di wilayah khatulistiwa.

Biennale Jogja XV diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta dengan mengusung tajuk “Do We Live in the Same Playground”. Tajuk ini dipilih oleh tim kurator Pameran Seni Biennale untuk  merangkum gagasan atas segelintir persoalan “pinggiran” yang berfokus di Asia Tenggara. Bentuk dari gagasan ini diwujudkan dalam karya artistik yang mencakup masalah identitas (gender, ras, dan agama), konflik sosial-politik, lingkungan, perburuhan, bahkan sampai masalah kesenian itu sendiri yang masih sering diabaikan.

Seniman dari Yangon, Nge Lay melakukan perjalanan panjang untuk mendapatkan foto-foto di instalasi Endless Story #2019, Urban Story #2019 ini (12/11)

“Di sini (JNM) total ada 42 seniman yang memamerkan karyanya dan Indonesia memang mendominasi,” jelas Agung, Coordinator Exhibition Guide Biennale Jogja XV. Meski tahun ini fokus pameran pada kawasan Asia Tenggara namun tidak semua negara Asia Tenggara terlibat. “Hanya beberapa perwakilan negara Asia Tenggara, pemilihannya lebih kepada kerja sama,” tambah Agung.

Pemilihan kawasan Asia Tenggara ini erat kaitannya dengan pemilihan tema yang mengangkat orang-orang terpinggirkan atau marginal. Melaui pendekatan geografis yaitu garis khatulistiwa negara-negara yang berpartisipasi dalam Biennale Jogja XV ini memiliki rasa dan duka yang sama, sama-sama pernah dijajah. Sebagian lagi letak geografisnya mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Agung mengatakan di situlah letak benang merah antara “terpinggirkan” dengan khatulistiwa Asia Tenggara.

Profiling artist beserta karyanya melalui laman instagram resmi Biennale Jogja (6/11)

“Kita juga merasa terkadang jadi negara yang dipinggirkan, kita masih hidup di negara bagian ketiga dan dipandang sebelah mata,” jelas Agung saat ditanya mengenai pemilihan tajuk Do We Live in the Same Background. Tidak ada batasan atau definisi tertentu mengenai marginal dan terpinggirkan yang dibawa oleh Biennale sehingga karya-karya yang dipamerkan sangat beragam sesuai dengan interpretasi seniman terhadap kemarginalan tersebut.

Satu contoh adalah karya seniman Bali, Citra Sasmita, yang bertajuk Timur Merah Project: The Embrace of My Motherland. Dalam karyanya ia mengangkat budaya Bali yang masih sulit diposisikan sebagai teks kanon seperti halnya di Jawa. Narasi kanon yang ada di Bali saat ini tidak terlepas dari narasi kanon yang ada di Jawa, maka melalui karyanya ini Citra menyajikan lukisan disertai narasi historis yang diambil dari kakawin atau teks.

Narasi di lantai ditulis sendiri oleh Citra Sasmita menggunakan bubuk kunyit (12/11)

Tema yang mengusung marginal ini tampaknya belum diketahui oleh semua pengunjung. Nita, salah seorang pengunjung, mengaku tidak tahu tema yang diusung tahun ini. “(Saya datang ke Biennale) mau cari spot foto. Belum tahu (tema Biennale), tapi terasa (tema yang diangkat) seperti menonjolkan dari kebiasaan orang-orang yang termarginalkan,” jelasnya.

Senada dengan Nita, Dhea, pengunjung lainnya, juga belum mengetahui tema yang diangkat tahun ini. “Belum tahu, tapi kalau menurut aku dari pertama masuk sudah kelihatan, berhubungan dengan sampah juga kan. Terus lihat video-video mereka mengangkat tentang masyarakatnya,” kata Dhea.

Biennale memang pameran seni yang tidak memungut biaya masuk sehingga siapa saja dapat datang dan melihat. Hal tersebut sejalan dengan fungsi edukasi yang memang dibawa oleh pameran seni ini. Dengan tema yang diangkat tahun ini Biennale berharap semakin banyak gagasan-gagasan yang terpinggirkan yang disalurkan melalui karya dan dinikmati serta diterima oleh banyak orang.