Dari Kemiskinan hingga Sukacita dalam Pameran “Di Mana Garuda”

“Di Mana Garuda” hadir di Bentara Budaya Yogyakarta pada 5-13 September 2017, memamerkan 47 foto tunggal dan delapan cerita foto oleh Pewarta Foto Indonesia di Yogyakarta.

Oleh: Diatami Muftiarini

Rangkaian foto Miskin di Negeri Kaya” karya Ulet Ifansasti, pewarta foto Getty Images di Indonesia, memberikan warna berbeda dalam pameran “Di Mana Garuda”, dengan mengangkat kisah kemiskinan di sekitar tambang Grasberg di Timika, Papua Barat.

Dari semua foto yang sebagian besar mengimajikan Indonesia dalam bentuk suka cita, cinta, dan harmoni, rangkaian foto berjudul “Miskin di Negeri Kaya” seolah membelot dari imaji mayor pewaarta foto dalam pameran ini. Ulet menampilkan delapan foto dan narasi pendek tentang warga asli Timika yang terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Cerita foto berjudul “Miskin di Negeri Kaya” karya Ulet Ifansasti, pewarta foto Getty Images di Indonesia.

Pameran yang berlangsung dari 5-13 September 2017 ini  diiniasi oleh Pewarta Foto Indonesia di Yogyakarta bersama Bentara Budaya Yogyakarta dalam merespons beragam kejadian di Indonesia yang belakangan banyak menyeret isu golongan, ras, dan agama.

Budi N.D. Dharmawan, selaku mentor lokakarya photo story dalam pameran ini, mengatakan  pewarta foto harian memasukkan karya berupa aktivitas sehari-hari, sementara pewarta foto seperti Ulet Ifansasti bekerja dalam proyek-proyek tertentu saja. Sehingga karya yang dipamerkan pun berbeda.

Garuda diimajikan ada di mana-mana. Garuda ada dalam kegembiraan anak-anak bermain menyambut tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, ia juga bentuk dari kesenian dan kebudayaan sebagai perangkat untuk membangkitkan nasionalisme, ia bagian dari aktivitas sehari-hari yang dapat rukun dengan sesama tanpa membedakan golongan, ras, dan agama, bahkan ia dapat ditemukan dalam perut bumi.

“Garuda bagi mereka bukan sesuatu yang abstrak, tetapi suatu kehidupan yang nyata di setiap lubuk hati. Pertanyaan di mana garuda? Jawaban optimis, bahwa garuda selalu ada,” kata Sindhunata dalam kata pengantar pembukaan pameran  (5/9).

Publikasi melalui akun Instagram resmi Pewarta Foto Indonesia Yogyakarta, @pfijogja, dilakukan rutin setiap hari selama pameran berlangsung.
Karya foto dari peserta pameran yang merupakan anggota Pewarta Foto Indonesia di Yogyakarta, antara lain Bramasti Adhy dan Hasan Sakri “Waria Rayakan HUT RI”, Hendra Nurdinsyah “Sumpah Pemuda di Lereng Merapi” dan “Jogja Kembali ke Ibu Pertiwi”, dan Dwi Oblo “Kemerdekaan di Perut Bumi” (5/9).

Tepat saja, imaji tentang Indonesia terang-terangan dipamerkan dalam bentuk garuda dan bendera merah-putih pada hampir seluruh karya foto. Dengan caption yang membawa cerita harmoni dan penuh cinta antara manusia-manusianya, hal ini selaras dengan tujuan PFI Yogyakarta menggelar pameran ini.

Diwakili oleh Tolchah Hamid/Oka, Ketua PFI Yogyakarta, mengharapkan “Di Mana Garuda” akan memberi gambaran kepada masyarakat tentang harmonisasi, nasionalisme, dan cinta yang akan selalu ditemukan di Indonesia. “Kita adalah satu bangsa, satu bahasa, satu dalam keberagaman. Kita mempunyai budaya yang berbeda dan kita harus saling menjaga satu sama lain,” kata Oka (5/9).

Kondisi lingkungan dan penduduk asli Papua yang bekerja sebagai pendulang emas liar di jalur pembuangan limbah tambang Grasberg.

Dalam karya Ulet, enam foto menggambarkan pendulang emas di sepanjang sungai Aikwa; laki-laki dan perempuan; tua, muda, mau pun kanak-kanak; ikut serta mengadu nasib dengan mendulang limbah Grasberg.

Ada satu foto sungai Aikwa yang diambil sebelum pesawat mendarat di bandara Timika, yang sangat dekat lokasinya dengan jalur pembuangan limbah tambang. Sungai  Aikwa dari atas berwarna abu-abu kehitaman yang merupakan penampakan dari batuan dan lumpur limbah tambang, juga emisi beracun (timbal, merkuri, dan sianida). Lalu ada satu foto yang dicetak lebih besar dibanding foto lainnya, menampilkan hutan bakau yang kering dan mati.

PT. Freeport Indonesia saat ini mengoperasikan tambang terbuka Grasberg dan tambang bawah tanah DOZ (Deep Ore Zone) dengan target produksi harian 240 ribu ton bijih. Dari sekian ton total bijih hanya 3% yang dapat diolah dan berubah menjadi konsentrat, sisanya adalah limbah tambang, yang dibuang ke sungai Aikwa.

Menurut Ulet Ifansasti, setelah adanya tambang Grasberg dan sungai Aikwa tercemar oleh limbah tambang, penduduk asli Papua yang tadinya memancing dan berkebun sekarang menjadi pendulang emas di jalur pembuangan limbah tambang. Mengorek-orek lumpur dan bebatuan limbah Grasberg untuk, setidaknya, mendapatkan debu-debu emas. Satu gram emas dihargai Rp400.000,- sejumlah uang yang cukup banyak dan dapat diperoleh setiap hari.

“Jika mereka membutuhkan uang cepat, mereka akan pergi ke sungai Aikwa dan mendulang,” kata Ulet saat ditemui di Bentara Budaya Yogyakarta (13/9).

Ulet Ifansasti memang lahir di Papua, tetapi ia menyangkal karya foto “Miskin di Negeri Kaya” adalah gambaran kedekatannya dengan Papua. “Saya mengangkat cerita ini bukan semata-mata karena saya lahir di Papua—memiliki darah Papua, tetapi lebih kepada keinginan untuk tahu lebih dalam bagaimana kehidupan para pendulang di jalur pembuangan limbah Grasberg,” kata Ulet.

“Foto-foto ini adalah kritik terhadap hal-hal yang ada. Bahwa tanah ini adalah tanah yang kaya, tetapi ironis, tetap saja miskin. Mereka, penduduk asli di sekitar tambang Grasberg, tidak dapat menikmati kekayaan alam milik mereka sendiri. Mereka hanya penonton. Sedihnya lagi, mereka menjadi pendulang emas, mengambil dari limbah tambang milik asing di tanah sendiri,” kata Ulet.

____

Ulet Ifansasti memuat foto-foto pendulang emas dari limbah tambah Grasberg di sungai Aikwa, Timika, Papua Barat dengan judul asli “Papua’s Gold Rush Creates Enviromental Devastation” dapat dilihat selengkapnya di Getty Images.