Dilarang, Pasar Sore Ngabuburit di Jalan Olahraga Tetap Berjalan

-

Para pedagang memilih untuk tetap berjualan, meskipun pihak UGM menyatakan larangan untuk melakukan kegiatan jual beli di sepanjang Jalan Notonagoro - Jalan Olahraga selama bulan Ramadan ini.
Sejak Senin (6/6), kegiatan Pasar Sore Ngabuburit telah kembali aktif, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Para pedagang memilih untuk tetap berjualan meskipun pihak UGM melarang kegiatan jual beli di sepanjang Jalan Notonagoro – Jalan Olahraga selama bulan Ramadan ini.

oleh Nizza Nurmalia Zulva

Suasana sore di sepanjang Jalan Olahraga, kampus UGM pada Selasa (7/6) tak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Ramai, sesak, dan semarak oleh para pedagang dan pemburu takjil berbuka puasa. Surat dari Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset UGM pada 25 Mei 2016 yang berisi larangan berjualan sore hari menjelang buka puasa di jalan itu tak memengaruhi kegiatan yang telah menjadi rutinitas bulan Ramadan selama belasan tahun terakhir.

Sri (45) dan Handoko (50) adalah bagian dari ratusan pedagang yang mencari penghasilan dari pasar sore tersebut. Sepasang suami istri tersebut mengaku telah berjualan di pasar Sunday Morning (Sunmor) sejak 1996, dan pada bulan Ramadan selalu ikut berjualan di sore hari. Mereka mengaku tahu akan adanya surat pelarangan tersebut, tetapi memilih untuk mengabaikannya.

“Memang, ada surat larangan berdagang. Tapi, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kami tetap berdagang saja. Toh kami ramai-ramai, semua kompak tetap berjualan, jadi kami tidak takut,” kata Sri, yang tinggal di Jalan Kaliurang Km 10.

Sebelumnya, para pedagang mengadu pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Selasa, 31 Mei 2016. Mereka meminta lembaga tersebut untuk dapat menjadi mediator mereka dengan pihak kampus. Mereka jengah karena tak diajak bertatap muka sebelum pihak rektorat melayangkan surat pelarangan tersebut. Selain itu, alasan perbaikan Jalan Notonagoro dan Jalan Olahraga pada 6 dan 7 Juni 2016 dianggap tak memiliki urgensi yang berarti. Bagi mereka, kesempatan 375 pedagang untuk mencari penghasilan jauh lebih utama dan mendesak.

“Kalau hal ini permasalahannya soal perut, kami harus tetap memperoleh penghasilan. Bulan puasa begini, Sunmor yang digelar pagi hari kan cenderung sepi. Lagipula, banyak orang yang mencari makanan berbuka di sini, jadi kami juga mempermudah mereka,” kata Handoko.

Di sisi lain, para pengungjung mengaku betah dan merasa terbantu dengan adanya pasar sore di sepanjang Jalan Olahraga. Ladya (20), mahasiswi yang kos di daerah Kuningan, salah satunya.

“Saya setiap sore mencari menu berbuka di Jalan Olahraga. Banyak pilihan, murah, dan pastinya dekat dengan kos,” ujarnya.

Solusi yang dianggap tidak solutif

Kepala bagian humas dan protokoler UGM, Iva Ariani pada Selasa (31/5), mengatakan bahwa pihak UGM sebenarnya tidak memiliki maksud untuk melarang para pedagang berjualan. Pertimbangan utama UGM dalam mengatur para pedagang tersebut adalah untuk menjaga kenyamanan para civitas akademika dan masyarakat umum.

Jalan Olahraga merupakan jalan yang terbilang padat karena menjadi salah satu jalur utama untuk memasuki kompleks UGM, sehingga keberadaan para pedagang ini akan menghambat arus lalu lintas. Hal inilah yang berusaha dicegah oleh pihak Kampus Biru.

Ruas Jalan Olahraga, Selasa (7/6), dipadati oleh warga Yogyakarta yang mencari kudapan untuk berbuka puasa.
Ruas Jalan Olahraga, Selasa (7/6), dipadati oleh warga Yogyakarta yang mencari kudapan untuk berbuka puasa.

“Kami bukan melarang,  kata yang lebih tepat yakni melakukan penataan. Kalau pedagang kami biarkan berjualan di Jalan Olahraga, akan mengganggu kegiatan civitas akademika,” ungkapnya.

Pihak kampus, menurut Iva, telah memikirkan nasib para pedagang dengan berencana memindahkan lokasi berjualan ke arah timur Jalan Notonagoro hingga simpang empat Fakultas Peternakan.

“Pedagang bisa berjualan di sana agar arus lalu-lintas semakin lancar, di lokasi tersebut memang lebih lengang,” imbuh Iva.

Pihak UGM berharap para pedagang bisa mengindahkan peraturan kampus tersebut. “Pedagang boleh berjualan aneka jenis makanan dan minuman apapun di lokasi yang telah ditentukan, harapan kami mereka bisa memahami,” ujarnya.

Menanggapi pernyataan UGM, Andi (46), pedagang es buah yang sudah ikut berjualan di pasar sore tersebut sejak tahun 2000, menganggap solusi yang ditawarkan pihak UGM sebagai hal yang tidak solutif.

Penataan  pedagang ke lingkar timur UGM, yang bersebelahan dengan Kampung Karangmalang dianggap bukanlah win-win solution, karena pedagang merasa dirugikan. Selain sulit dijangkau pembeli, para pedagang menganggap infrastruktur di lokasi tidak memadai dan ada potensi friksi dengan penduduk setempat.

“Sulit kalau di lingkar timur. Jalannya sempit, pembeli jadi malas datang,” ujar Andi.

Hal tersebut pun diamini Handoko.

“Kalau di sana, kami harus mengeluarkan ongkos angkut yang lebih, tapi dagangan tidak laku. Sudah begitu, kami mendapat sambutan yang tidak mengenakkan dari warga setempat. Kami dianggap mengganggu, menghambat, dan mengotori jalan,” ujarnya.

“Sudahlah, kami tetap di lokasi ini saja. Toh, sudah belasan tahun kegiatan ini berjalan, semua baik-baik saja,” pungkasnya.