Oleh: Rizky Adinda Febriyanti
“Pandemi Covid-19 membuat kita semua merasa berada di situasi sulit. Kita memikirkan hal kecil yang bisa dilakukan untuk membantu orang lain atau mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu bersama-sama melalui gerakan solidaritas.”
Demikian penuturan Deardra Nurriel (21), mahasiswa Fisipol UGM yang tengah aktif sebagai Head of Communication Bisa Belajar, sebuah gerakan bantuan kuota dan gawai untuk para pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah dalam menempuh pembelajaran jarak jauh. Ia mengaku bergabung menjadi relawan Bisa Belajar karena ingin membantu sebagai penghubung antara orang yang mau berdonasi dan yang membutuhkan selagi mampu.
Deardra menambahkan bahwa gerakan solidaritas bisa memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi dan menjalin relasi. Menurutnya, relasi-relasi yang terbentuk dengan sesama anggota atau lembaga mitra Bisa Belajar mampu membuka kesempatan baru, misalnya untuk pekerjaan.
Bisa Belajar merupakan salah satu dari beragam gerakan solidaritas pemuda selama pandemi. Bisa Belajar didirikan oleh Hasna Naya, alumni Hubungan Internasional UGM 2016, bersama dua temannya pada fase pertama, yaitu di bulan Mei sampai Juni 2020. Memasuki fase kedua, Hasna dan timnya mulai menyaring relawan melalui rekrutmen terbuka yang disebar di media sosial. Anggota gerakan ini sekarang terdiri atas dua belas orang yang mayoritas adalah mahasiswa aktif dan mahasiswa yang baru lulus.
Pada fase pertama, gerakan ini berhasil mengumpulkan donasi sekitar Rp 5 juta dan telah disalurkan dalam bentuk kuota kepada 170 murid di sekolah-sekolah mitra, antara lain SD Sendangsari, SMP ST Aloysius Turi dan MTs Al Barokah Godean. Semenjak muncul kebijakan bantuan kuota oleh pemerintah, fase kedua Bisa Belajar beralih menyediakan gawai bagi murid-murid yang masih membutuhkan. Donasi gawai ini rencananya terakhir akan disalurkan pada bulan November.
Selain donasi masyarakat, Bisa Belajar juga memeroleh dana dari beberapa lembaga donatur, antara lain Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Cina, Farmasi Cup UGM dan GenBI Unair. Bisa Belajar juga menjalin kerja sama dengan Kitabisa sebagai platform donasi. Menurut Deardra, kerja sama ini bisa terjalin karena promosi dan publikasi lewat media sosial yang berhasil menarik empati pihak-pihak tersebut.
Eka Zuni Lusi Astuti (32), dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM, menyebutkan bahwa bantuan yang diterima komunitas-komunitas kelompok marjinal di DIY salah satunya berasal dari gerakan-gerakan solidaritas para pemuda.
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009, pemuda adalah warga negara Indonesia dalam rentang usia enam belas sampai tiga puluh tahun. Lusi melihat mereka memiliki potensi untuk berkontribusi dalam gerakan solidaritas karena jiwa sosial yang tinggi dan adanya rasa saling membutuhkan selama pandemi. Selain itu, pemuda memiliki akses terhadap informasi yang tinggi dan cepat, terutama di tengah maraknya penggunaan media sosial.
“Gerakan solidaritas pemuda bersifat sporadis dengan sasarannya masing-masing. Ini merupakan inisiatif yang bagus agar bantuan-bantuan tersebut menjadi lebih merata,” kata Lusi (12/11). Selain itu, inisiatif untuk tetap berjejaring melalui gerakan kerelawanan di tengah keterbatasan pandemi juga patut diapresiasi.
Berdasarkan pengamatan Lusi, gerakan-gerakan pemuda di DIY wujudnya beragam, mulai dari bisnis sosial, kampanye, hingga aksi secara langsung. Bisa Belajar merupakan salah satu wujud gerakan kolektif pemuda dengan mengumpukan donasi dan menyalurkannya untuk mewujudkan inklusivitas pendidikan di DIY, terlebih selama pandemi Covid-19.
Sementara itu, gerakan pemuda lainnya di DIY dengan target yang berbeda dari Bisa Belajar adalah gerakan Dapur Sembungan. Dapur Sembungan adalah dapur umum di daerah Sembungan, Bantul yang dulunya merupakan bagian dari jejaring Solidaritas Pangan Jogja.
Menurut Juliansah (27), anggota tim memasak dan distribusi, Dapur Sembungan melibatkan mahasiswa, seniman, dan pekerja kreatif di daerah Sembungan yang tidak bisa bekerja selama pandemi. Dengan kesadaran bahwa pandemi membatasi akses makanan dan mengurangi daya beli masyarakat, Jualiansah bersama rekan-rekannya berniat untuk memasak dan mendistribusikan makanan bagi para pekerja informal terdampak di jalanan.
Ketika jejaring Solidaritas Pangan Jogja masih aktif, Dapur Sembungan rutin bekerja dengan sistem tiga hari memasak satu hari libur dan membagikan 65 bungkus makanan setiap harinya. Setelah jejaring ini sudah tidak aktif, Dapur Sembungan memasak setiap hari Senin, Selasa, Jumat, dan Sabtu dengan total 37 – 45 bungkus setiap harinya.
Juliansah menyebutkan bahwa keuntungan melibatkan pemuda dalam gerakan ini adalah keterampilan yang baik dalam menggunakan media sosial dan mengolah informasi. Menurutnya, gerakan-gerakan lainnya seperti Dapur Lansia atau Dapur pemulung, masih kurang dalam pemanfaatan media sosial. Dengan melibatkan pemuda, Dapur Sembungan berharap bisa mempromosikan gerakannya dengan lebih baik agar dikenal dan memperoleh dukungan.
Menurut Juliansah, aktif di gerakan solidaritas selama pandemi bisa membantu pikiran agar tetap sehat. Tidak hanya membantu orang lain, gerakan solidaritas juga bisa membantu diri sendiri agar tetap terhubung dengan orang lain di tengah keterbatasan pandemi. Gerakan solidaritas juga bisa menjadi wadah untuk terus berjejaring dan merangkul masyarakat yang perannya sering diremehkan, misalnya para petani.
“Kalau orang lain bisa hidup, maka kita sendiri juga bisa hidup. Sebaliknya, kalau yang lain merasa terancam, artinya diri kita juga dalam situasi terancam,” kata Jualiansah (21/11). Jualiansah berharap pemuda bisa mengoptimalkan potensi-potensinya dengan membantu sesama dan tidak hanya memikirkan diri sendiri, khususnya di tengah situasi sulit.