Grojogan Watu Purbo, Perlahan Bangkit di Saat Pandemi

Sebelum memasuki komplek Grojogan Watu Purbo, pengujung diwajibkan mencuci tangan, pakai masker, dan dicek suhunya oleh petugas (26/9).

Oleh: Stefanus Fajar Setyawan

Datangnya pandemi Covid-19 pada awal 2020 memaksa pengelola Grojogan Watu Purbo di Sleman menghentikan kegiatan operasionalnya. Namun sejak pemerintah memberlakukan kebijakan Adaptasi Kebiasaan Baru, tempat ini mulai buka pada Juni 2020 dan kembali didatangi warga.

Ketua Pokdarwis Bangunrejo, Maryono mengatakan pandemi Covid-19 sempat membuat pengunjung grojogan hanya sekitar 50 orang, berbanding terbalik dengan masa liburan Nataru yang bisa tembus 5000 orang. “Sebelum Covid-19, pengunjung grojogan dapat mencapai 2000-4000 orang di akhir pekan,” ujar Maryono (26/9). Meski begitu, tak diduga ada banyak goweser yang mencari jalan-jalan lain untuk dapat tiba di grojogan ini.

Agar pengunjung tetap aman dan operasional bisa berjalan, pengelola berinisiatif untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti penyediaan tempat cuci tangan dan thermogun. Pengunjung diharuskan untuk cuci tangan sebelum masuk dan wajib pakai masker selama berwisata di Grojogan Watu Purbo. Dengan dibukanya kembali Grojogan Watu Purbo, warga berangsur-angsur mulai mengunjungi tempat ini. “Saat ini, pengunjung di akhir pekan dapat sekitar 500-2000 orang,” kata Maryono (26/9).

Grojogan Watu Purbo (GWP) adalah air terjun yang terbentuk dari bekas sabo dam. Terdapat enam tingkatan sabo dam di air terjun ini. Untuk mencapai ke titik utama, pengunjung perlu menuruni sejumlah anak tangga. Namun jika ingin menikmati pemandangan dari ketinggian, pengunjung cukup singgah di pendapa utama.

Pada masa new normal ini, Grojogan Watu Purbo menjadi salah satu destinasi para pesepeda. Mereka mengetahui air terjun ini dari internet ataupun secara khusus dari Instagram @grojogan_watupurbo. “Lihat foto-foto di internet kok menarik, ya coba didatengin gitu mas,” kata Azki, pesepeda dari Sleman (26/9).

Selain Azki, ada pula Andri yang mengetahui tempat ini dari Instagram dan juga klub sepedanya, Jogja Women Cycling. “Saya tahu grojogan dari teman-teman yang gowes juga, mereka share foto. Kalau lihat di IG nya juga bagus feeds-nya, makanya tertarik. Selain itu, udara di sini masih segar,” kata Andri (26/9).

Andri bersama empat temannya dari Departemen Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium UGM (26/9)

Meski sempat tutup karena pandemi, perekonomian pedagang di GWP sudah kembali bergeliat. Salah satu pedagang mengaku bahwa warungnya tutup sekitar 4 bulan dan mulai kembali buka pada bulan Juni-Juli 2020. “Berjualan di sini tentu cukup membantu secara ekonomi. Dari yang kehilangan pekerjaan, jadi punya penghasilan,” kata salah seorang pedagang (26/9). Dengan Rp6000, kita sudah bisa menyantap Sego Iwak Kali yang menjadi salah satu makanan favorit di tempat ini.

Grojogan Watu Purbo menawarkan pemandangan bentang alam yang bercampur dengan karya tangan manusia. Maryono menjelaskan bahwa tempat ini awalnya adalah sabo dam untuk mencegah aliran lahar dari Gunung Merapi di Sungai Krasak. Sabo dam yang dibangun sejak tahun 1975 ini kemudian dijadikan destinasi wisata mulai pertengahan 2018. Wilayah ini dulunya hanya kebun kosong yang kemudian digarap oleh warga dusun Bangunrejo secara bergotong royong.

Hardi, salah satu pengelola GWP menceritakan bahwa nama “Grojogan Watu Purbo” dipilih dari bentuk grojogan yang banyak batunya. “Kata purbo muncul dari pemikiran bahwa batu tidak diketahui ada di situ dari kapan, alias sudah dari lama. Ya sudah akhirnya pakai kata purbo (tua),” kata Hardi (26/9).

Setelah dibuka tahun 2018, tempat ini mengalami pasang surut hingga kemudian mendadak tenar pada 1 Januari 2020. Hardi bercerita bahwa saat itu warga Bangunrejo tidak menyadari ada banyak pengunjung di Grojogan Watu Purbo. Momen tersebut menjadi titik balik setelah sebelumnya destinasi wisata ini kurang begitu dilirik wisatawan.