Oleh: Geolana Wijaya Kusumah
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman terus melakukan kegiatan Gerakan Jumat Bersih (GJB) meski musim penghujan akan berakhir. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) perlu dipertahankan warga untuk mencegah beberapa penyakit (4/4).
Gerakan Jumat Bersih (GJB), yaitu kegiatan membersihkan lingkungan kecamatan yang memiliki kasus penyakit yang tinggi serta sosialisasi kepada warga tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), tetap rutin dilakukan meskipun tidak seintens ketika musim penghujan. Tujuan dari kegiatan Gerakan Jumat Bersih adalah untuk memotivasi warga agar membiasakan diri berperilaku bersih dan sehat. “Terkadang Bupati Sleman, Sri Purnomo dan wakilnya, Sri Muslimatun turut serta dalam kegiatan GJB untuk semakin memotivasi warga,” kata Dul Zaini, Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman (4/4).
“Gerakan Jumat Bersih diawali oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, selanjutnya diteruskan oleh Puskesmas-Puskesmas di Kabupaten Sleman. Kami mendorong Puskesmas dan warga untuk rutin melakukan Gerakan Jumat Bersih,” kata Novita, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman (26/3). Sayangnya, program ini belum diaplikasikan oleh seluruh Puskesmas secara rutin di wilayah Kabupaten Sleman karena kesibukan yang dialami beberapa Puskesmas.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman juga sudah mengupayakan cara lain untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah kesehatan lingkungan seperti memberikan surat edaran ke semua unit pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, puskesmas, dan rumah sakit.
Terakhir, pemberdayaan warga melalui kelompok-kelompok seperti karang taruna, ibu-ibu pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), kelompok tani, dan kelompok kesehatan yang dibuat oleh Dinas Kesehatan yaitu jumantik (juru pemantau jentik).
“Bagi seorang warga, tidak bisa hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah. Kita harus mandiri dan mulai untuk sadar akan kebersihan lingkungan sekitar. Setiap minggu saya selalu ingatkan untuk membuang air yang menggenang, menutup barang-barang yang sekiranya bisa menampung air, menutup tempat air bersih kita, dan membuang sampah pada tempatnya,” kata Erwin Handoyo, jumantik sekaligus Ketua RW 23 Bodeh, Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman (29/3).
Novita mengatakan bahwa penyakit-penyakit berpotensi lebih tinggi terjadi di musim penghujan karena berbagai faktor. Influenza, ISPA, Diare, dan Tifoid disebabkan oleh bakteri dan alergen yang menyerang tubuh ketika sedang dalam kondisi kurang sehat dan perubahan cuaca yang tidak stabil dapat memicu lemahnya sistem imun atau kekebalan tubuh.
Dua penyakit utama yang perlu diwaspadai adalah demam berdarah dengue dan Leptospirosis. DBD merupakan penyakit dengan tingkat kedaruratan sedang ke atas yang menyebar dengan sangat cepat karena disebabkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti. Nyamuk spesies aedes aegypti berkembang biak di genangan air bersih.
Berbeda dengan Leptospirosis yang merupakan penyakit langka tetapi mematikan sehingga tingkat kedaruratannya sangat tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh urin tikus yang mengandung dengan bakteri leptospira interrogans.
“Turunnya hujan membuat tikus sering buang air kecil karena meminum banyak air dan mengeluarkan garam berlebih dari tubuhnya. Urin tersebut terkadang tidak sengaja terbawa oleh aliran air bersih di sungai, sumur, kolam, dan bak mandi yang digunakan warga,” kata Dul Zaini (4/4). Warga yang memiliki luka atau bahkan meminum air tersebut dapat terkontaminasi oleh bakteri leptospira interrogans kemudian dapat terjangkit Leptospirosis.
“Penyakit-penyakit tersebut mulai meningkat di bulan November hingga Februari, kemudian mengalami penurunan di bulan Maret hingga pertengahan April. Selanjutnya mengalami peningkatan lagi di akhir bulan April hingga bulan Mei atau sampai musim kemarau tiba,” kata Novita (26/3).
Perkembangan kasus penyakit-penyakit di musim penghujan mengalami ketidakstabilan jumlah kasus namun terus mengalami penurunan jumlah kematian. Pada tahun 2015 total kasus terdapat 520 kasus dan tidak ada kematian, 2016 ada 882 kasus dengan 2 kematian, 2017 ada 473 kasus dengan 11 kematian, 2018 ada 174 kasus dengan 3 kematian, dan 2019 ada 226 kasus dan tidak ada kematian.
Ketidakstabilan ini disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti curah hujan, suhu, kebersihan lingkungan, dan lain-lain. “Hujan merupakan faktor utama karena tidak bisa diprediksi intensitas dan jangka waktunya. Setiap tahunnya pasti berbeda dan harus siap mengantisipasi,” kata Novita (26/3).
Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman masih perlu meningkatkan sosialisasi dan publikasi setiap kegiatan yang dilakukan. Nantinya, warga bisa mengakses berita kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman melalui situsweb.