Jiwalaut untuk Membantu Warga Watukodok Berdaya

pantai watukodok
Dengan kayu yang melimpah, banyak warga desa Kemadang bekerja sebagai pembuat furnitur.

Oleh: Fauzi Ananta

Gunung Kidul, WARGAJOGJA.NET – Dua tahun lalu Warga Watukodok, Gunung Kidul mengalami konflik dengan calon investor yang ingin membangun hotel dan rumah makan. Bagaimana kehidupan mereka setelah menolak pengusaha dari luar?

Pada Mei 2015, rutinitas warga Watukodok, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, terganggu. Tanpa sosialisasi lebih dulu, warga diminta untuk menyingkir. Seseorang dari luar daerah menunjukkan surat kekancingan dari Kraton Yogyakarta, yang memberinya izin untuk menempati wilayah Watukodok selama 10 tahun ke depan. Orang tersebut adalah investor yang ingin membangun hotel dan tempat makan.

Warga Watukodok bertekad untuk mempertahankan tanah mereka dan meminta bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta dukungan dari masyarakat. Perjuangan yang kukuh itu pun mendapatkan makian dari investor yang murka, “Dasar anak SD aja kok sok pinter!”

Makian tersebut melatarbelakangi Festival Kathok Abang yang mulai diadakan satu tahun setelah konflik tersebut. Festival tersebut diadakan untuk menyindir investor yang menghina mereka menggunakan kathok abang (celana merah) sebagai simbolisasi anak SD.

Festival Kathok Abang kami buat untuk menunjukan kepada orang-orang di luar sana bahwa sebagai anak SD kami telah menyelesaikan banyak hal, seperti mengorganisir berbagai kegiatan dan berhasil mempertahankan tanah kami yang merupakan tempat kami mencari nafkah,” kata Soemarno, Ketua Paguyuban Pedagang Watu Kodok. (19/2)

Lihat juga: Video dari Tifa Foundation tentang Festival Kathok Abang.

pantai watukodok
Soemarno merasa senang jika banyak wisatawan yang berkunjung ke Pantai Watukodok.

Pada Oktober 2016 silam, seorang asing kembali datang. Ia bukan ingin menanamkan modal untuk membangun hotel ataupun rumah makan, tapi membantu warga Watukodok menjadi warga yang berdaya. Ia adalah Ira Irawati, wanita yang berasal dari Jayapura dan pindah ke Yogyakarta ketika orang tuanya sudah pensiun. Ira sempat mendirikan organisasi nirlaba untuk mengurangi produksi sampah plastik di Jayapura.

“Tengah tahun lalu, saya datang ke sini dengan tujuan baik. Saya melihat banyak potensi di pantai Gunung Kidul yang tidak dikelola dengan baik. Saya mengajak warga untuk bersama mendirikan  organisasi yang berfokus memberdayakan warga lokal agar cinta lingkungan dan jadi mandiri. Organisasi itu sekarang bernama Jiwalaut,” kata Ira, pendiri Jiwalaut.

pantai watukodok
Ira ingin memberdayakan Warga Watukodok agar mandiri.

“Kepedulian saya terhadap lingkungan berawal ketika saya berada di Papua dan membentuk organisasi yang mengedukasi warga untuk mengurangi penggunaan sampah plastik. Namun setelah orang tua saya pensiun dan kembali ke Yogyakarta, saya tidak ingin pantai di sini juga tercemar seperti di sana,” lanjut Ira.

Sama dengan Ira, Sasongko, atau akrab disapa Koko, juga ikut membantu Ira dengan menjadi Manajer Jiwalaut.

“Setelah kembali dari Amerika, saya ingin mengabdi di tempat saya berasal, yaitu Watukodok. Kemudian saya melihat itikad baik dari Ira dan saya tertarik untuk membantunya,” ujar Koko.

pantai watukodok
Sepulangnya dari Amerika, Koko ingin kembali ke tempat asalnya, Watukodok.

“Saya merasa sampai saat ini Warga Watukodok masih tertinggal dan pemerintah tidak berada di sana untuk membantu. Buktinya, sampai sekarang semua sarana dan prasarana merupakan hasil jerih payah  warganya,” tambah Koko menguatkan pendapatnya.

Warga pun menyambut baik itikad tersebut dan ingin saling membantu untuk membuat Watukodok semakin berkembang.

“Kami ingin menjadikan Watukodok tetap alami apa adanya. Kami ingin Watukodok tetap menjadi lahan bekerja bagi warga, bukan lahan kerja bagi investor. Karena kami lahir dan tumbuh di sini,” cetus Rugiyati, Humas Paguyuban Kawula Pesisir Mataram.

Banyak hal yang telah dilakukan Jiwalaut untuk memberdayakan warganya.

“Jiwalaut telah membuat kelas komunitas bahasa inggris, pelatihan manajemen sampah, membuat kerajinan kayu dan memaksimalkan lahan untuk bertani. Uang dari kerajinan dan hasil bertani dijadikan pemasukan untuk para warga dan kami agar bisa terus berjalan,” kata Koko.

pantai watukodok
Petani lokal diajarkan mengolah singkong dan jagung untuk meningkatkan pendapatan mereka.

“Jiwalaut juga membantu mengorganisir para pedagang hingga terbentuk paguyuban pedagang,” kata Soemarno.

“Dari hasil berdagang tersebut, warga bisa mendapat pemasukan tambahan, karena jumlah pengunjung ke Pantai Watukodok bisa mencapai ribuan pengunjung per bulan,” tambah Soemarno.

pantai watukodok
Warga lokal juga diajarkan untuk membuat pertanian organik.

Untuk hari depan, banyak hal yang masih ingin dicapai oleh Jiwalaut.

“Target jangka panjang kami ingin membentuk resort sebagai tempat tinggal para turis asing jika ingin berselancar ataupun olahraga ekstrem di Watukodok ataupun sekitar pesisir Gunung Kidul. Resor itu nanti juga akan dikelola oleh warga lokal,” kata Koko.

“Tapi sebelum itu, kami harus membuat masyarakat luas tahu dengan keberadaan Pantai Watukodok. Misalnya, kami baru saja bekerjasama dengan event Sarapan Jazz yang mengundang artis-artis kondang manggung di sini. Ini memperkenalkan Pantai Watukodok, sekaligus melariskan jualan para pedagang di sini,” kata Koko.

Reporter: Fauzi Ananta (www.fauziananta.com)