Kekerasan terhadap Difabel Perempuan di DIY Masih Banyak Terjadi

 

Marsinah Dede (Perwakilan Women Disability Crisis Center SAPDA Jogja) menjelaskan kerentanan difabel perempuan dalam kunjungan OF Humanity Fisipol UGM di Kantor SAPDA Jogja, Kotagede (11/03)

Oleh: Rizky Adinda Febriyanti

Selama lima tahun terakhir, terjadi 144 kasus kekerasan terhadap difabel perempuan di Provinsi DIY. Kekerasan terhadap difabel perempuan ini bisa terjadi di lingkungan rumah dan tetangga, tempat kerja, hingga kampus.

Salah satunya di kampus UGM, seperti yang disampaikan oleh Nabilah (21), mahasiswa Fisipol UGM yang aktif dalam UKM Peduli Difabel.

“Ada yang hampir depresi karena dikucilkan teman-teman satu kepanitiaan. Karena pendengaran yang terbatas, dia dianggap tidak bisa bekerja dengan baik dan malah dijauhi,” kata Nabilah.

Selain itu, menurut Marsinah Dede dari Divisi Women Disability Crisis Center Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Jogja, bentuk kekerasan terhadap difabel perempuan di masyarakat sangat beragam.

“Hak difabel perempuan untuk menikah atau tidak, bisa punya anak atau tidak, semuanya masih sering ditentukan oleh orang lain. Bahkan ada yang cuci piring saja dilarang karena dianggap tidak bisa, diminta diam saja di kamar,” katanya. Menurut Dede,  perempuan yang menyandang disabilitas memiliki kerentanan terhadap kekerasan yang lebih tinggi.

Melihat gambaran kasus-kasus tersebut, maka perlindungan terhadap difabel perempuan perlu untuk ditingkatkan. Isu ini juga dibahas dalam diskusi Monthly Coffeebility bersama International Women’s Day Yogya yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga (26/02). Diskusi tersebut mempertemukan sudut pandang hukum dengan sudut pandang advokasi terkait perlindungan terhadap difabel, khususnya perempuan.

Direktur SAPDA Jogja, Nurul Sa’adah, menyatakan bahwa difabel perempuan menjadi lebih rentan kekerasan karena adanya konstruksi peran gender dan stigma yang tidak adil di masyarakat. Mirisnya, tidak semua difabel perempuan mau terbuka dan melaporkan kasus kekerasan yang dialami.

“Hal ini bisa jadi karena mereka merasa tidak berharga di lingkungan masyarakat,” kata Nurul. Pendekatan terbaik adalah dengan mengingatkan kepada mereka bahwa difabel juga merupakan individu yang bermartabat dan berhak untuk bercerita. Dengan begitu, diharapkan para difabel perempuan menjadi lebih terbuka untuk melaporkan kasusnya.

Sukiratnasari (DPC Peradi Kota Yogyakarta) menjelaskan pentingnya perangkat hukum dalam upaya perlindungan difabel perempuan pada acara Monthly Coffeability UIN Sunan Kalijaga (26/02)

Terkait penanganan hukum, beberapa norma hukum perlindungan difabel perempuan di Indonesia memang belum diimplementasikan dengan baik. Menurut Sukiratnasari selaku Perwakilan Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Yogyakarta, hal itu disebabkan minimnya pemahaman terkait disabilitas oleh pembuat regulasi.

Salah satu permasalahan yang sering dijumpai adalah sulitnya akses dan bantuan hukum bagi saksi atau korban difabel perempuan. Bahkan, mereka dianggap tidak bisa menjadi saksi karena keterbatasan sensorik yang dimiliki. Selain itu, menurut Sukiratnasari, beberapa penegak hukum dan regulasi juga dinilai belum tegas. Misalnya, suatu kasus dianggap sebagai pemerkosaan apabila hanya terjadi sekali. Jika sudah terjadi dua kali, itu berarti antara korban dan pelaku sudah saling menerima. Padahal, pemerkosaan lebih dari sekali sangat mungkin terjadi karena korban tidak tahu cara melawan.

Menghargai dan memahami perspektif disabilitas menjadi penting dalam upaya perlindungan difabel perempuan. Hal ini diharapkan mampu mengakomodasi kebutuhan para difabel perempuan atau penyandang disabilitas lainnya dengan lebih baik.