Oleh: Dinda Hermiranti Putri
Pencari kerja dengan disabilitas di Indonesia masih mengalami berbagai diskriminasi. Untuk melawan itu LSM Saujana membuat program Kerjabilitas, portal lowongan kerja khusus disabilitas yang kini memiliki 1.100 pengguna.
Diinisiasi oleh Tety Sianipar dan Rubi Emir di Yogyakarta pada tahun 2014, Kerjabilitas menjadi program pertama milik LSM Saujana. Hingga saat ini program yang telah bermitra dengan antara lain Google dan Microsoft ini berhasil menyalurkan 300 tenaga kerja.
“Sejak pertama didirikan, tujuan kami sudah banyak berubah. Awalnya kami pikir hanya butuh tools. Ternyata kesenjangan antara pemahaman penyedia kerja dan kemampuan pencari kerja dengan disabilitas luar biasa besar,” kata Tety saat ditemui di kantor LSM Saujana (4/9). Oleh karena itu saat ini Kerjabilitas fokus pada kegiatan luring, antara lain pelatihan softskill, pengenalan diri, dan teknologi penunjang karir.
Beauty Sofranita, Program Manager Kerjabilitas, memaparkan selama ini portal kerja yang ada belum dapat mengakomodasi penyandang disabilitas. “Beberapa teman mengalami ketidakadilan. Mereka lolos seleksi administrasi namun saat wawancara langsung ditolak karena dianggap tidak memiliki kemampuan,” kata Beauty.
Pendekatan jalur ganda (twin track approach) pun diaplikasikan untuk melawan diskriminasi. Pendekatan ini berfokus meningkatkan kesadaran perusahaan berbarengan dengan peningkatan kemampuan pencari kerja. “Karena kalau hanya peningkatan awareness yang ada charity, kalau peningkatan kapasitas saja, pasar kerja tetap tak bisa ditembus. Jadi harus bersamaan,” kata Tety.
Tahun ini, Kerjabilitas bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) Surakarta untuk membuka kelas inklusi. Kini menuju 4 kelas yang dibuka, terdiri dari 2 kelas pelatihan operator komputer dan 2 kelas pelayanan pelanggan. Kelas terbuka untuk teman disabilitas daksa dan netra serta non-disabilitas.
Untuk menumbuhkan kesadaran terhadap disabilitas, Kerjabilitas menyelenggarakan Disability Awareness Workshop bekerja sama dengan pemerintah dan penyedia kerja dengan melibatkan pekerja disabilitas “Sehingga penyedia kerja bisa melihat langsung teman disabilitas yang sudah bekerja,” kata Tety.
Ika Dewi (23), penyandang disabilitas daksa, yang kini bekerja di Zanura Digital, Yogyakarta merasa terbantu dengan hadirnya Kerjabilitas. Ia sempat mengikuti pelatihan softskill dalam rangkaian acara di Jawa Timur.
“Sangat membantu karena tak hanya menyediakan lowongan pekerjaan namun juga memberikan pendekatan konsisten pada perusahaan sehingga mereka sangat welcome pada kami. Kerjabilitas sangat mengerti kebutuhan kami,” kata Ika (5/9). Melalui pelatihan, Ika juga menjadi lebih mengerti mengenai dunia kerja perkantoran yang kompetitif.
Meski dinilai lebih efektif dari pada pendekatan daring, pelatihan luring menemui banyak hambatan. “Sempat desperate karena merasa apakah menyelenggarakan pelatihan bagi disabilitas itu harus mahal?” ujar Beauty. Menurut Beauty pelatihan memerlukan fasilitas fisik yang memadahi yang mayoritas tersedia di hotel berbintang. Oleh karena itu seluruh kegiatan luring masih sangat bergantung pada ketersediaan bantuan dana.
Ditemui di kantornya (9/9), Andayani, peneliti di Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memaparkan bahwa dibandingkan dengan sektor pendidikan, perjuangan kesetaraan disabilitas dalam ketenagakerjaan masih sangat jauh. “Masalah utamanya difabel dianggap tidak memiliki kemampuan, kalaupun bekerja biasanya di sektor informal dan di entry level yang tidak kompetitif,” kata Andayani.
Menurut Andayani, kesetaraan disabilitas di dunia kerja memerlukan upaya berbagai pihak. Sayangnya pihak yang peduli isu ini masih terbatas. “Satu-satunya program yang sistematis itu Kerjabilitas,” katanya.
Ke depan, Kerjabilitas ingin keberagaman disabilitas menjadi keseharian. Untuk itu Tety memaparkan upaya perlawanan akan terus dilakukan, utamanya dengan membuka akses dan memperlebar kanal hingga kesetaraan hadir.