oleh Atikah Gusriandini
Angka pernikahan dini di Provinsi DIY turun dari tahun ke tahun, tapi angka ini masih tinggi, yakni 390 pasang pada 2015. Pasangan disebut menikah dini jika menikah di bawah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Prof. Muhadjir Darwin, ahli kependudukan UGM, mengatakan, faktor utama terjadinya pernikahan dini adalah ekonomi, bukan kehamilan tidak diinginkan (KTD), meskipun ini juga salah satu faktor.
Berdasarkan hasil penelitian Basilica Dyah Putranti dari Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, aspek sosial budaya dan tayangan di media memengaruhi tingginya kasus pernikahan dini. Hal ini juga sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah.
Jika ingin menikah dini, pasangan harus meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat. Menurut data Pengadilan Agama Kabupaten/Kota di DIY, pemohon dispensasi pernikahan dini pada 2013 sebanyak 573, turun menjadi 487 pada 2014, dan turun lagi menjadi 390 pasangan pada 2015.
“Sebenarnya dispensasi pernikahan ini bertolak belakang dengan UU Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak, dilarang menikahi anak di bawah 20 tahun. Sementara di UU Perkawinan, umur minimal perempuan menikah adalah 16 tahun. Itu tidak sinkron,” kata Aprilia Ike Nur Wijayanti, Koordinator Penelitian dan Diseminasi Data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY.
Prof. Muhadjir Darwin mengatakan, adanya izin negara untuk menikah di bawah umur berarti negara melegalkan perkawinan anak. PKBI juga sempat mengajukan Judical Review terhadap UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi tetapi ditolak karena UU itu dianggap sudah sesuai dengan konstitusi. Selain itu, Prof. Muhadjir bercerita pernah menjadi salah satu saksi ahli dari kalangan akademisi dalam pengajuan revisi UU Perkawinan ke Mahkamah Konsitusi di Jakarta. Namun pengajuan tersebut juga ditolak.
Penolakan ini berdasarkan pertimbangan dari saksi ahli kalangan agamawan yang diwakili oleh NU, Muhamadiyah, dan MUI. Mereka berpendapat bahwa pernikahan dini tidak dilarang oleh agama dan mengacu pada sejarah pernikahan Nabi Muhammad SAW yang menikahi ‘Aisyah pada umur sembilan tahun.
Selain melanggar UU Perlindungan Anak, April mengatakan bahwa pernikahan dini melanggar satu dari 12 hak reproduksi yang dirumuskan oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada 1996 yaitu hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga.
Menurut April, pernikahan dini bukanlah solusi yang tepat, justru akan menimbulkan masalah baru seperti lebih berisiko terkena kanker serviks, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan penelantaran anak. Permasalahan ini kemudian mendorong PKBI DIY untuk membuat modul kesehatan reproduksi (kespro). Modul tersebut mengulas sejumlah hal penting antara lain kesadaran gender, kesehatan reproduksi, dan kesehatan emosional.
Modul itu diimplementasikan di sekolah dampingan PKBI. Dari semua kabupaten/kota di DIY, baru Kabupaten Kulon Progo yang berhasil mengimplementasikan dengan dikeluarkannya SK Bupati No 326 Tahun 2010. Dalam SK tersebut, materi kesehatan reproduksi masuk dalam mata pelajaran muatan lokal dari tingkat SD hingga SMA. Implementasi modul tersebut berhasil menurunkan tingkat pernikahan dini di Kulon Progo menjadi 45 kasus pada 2015.
“Tidak hanya pernikahan dini sebenarnya. Dari pengakuan guru-guru yang mengajar, sudah mulai ada perubahan perilaku pada siswa. Jadi memang salah satu tujuan memberikan modul ini untuk mengubah perilaku sehingga lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri,” kata April
PKBI berharap modul tersebut bisa diimplementasikan secara optimal di setiap kabupaten/kota di DIY bahkan bisa menjadi kurikulum tersendiri. Selain melalui modul, PKBI juga melakukan sosialisasi ke remaja sekolah, remaja desa, dan tokoh perempuannya; advokasi atau audiensi dengan pihak yang berwenang; pengorganisasian CBO (Community Based Organization); pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi melalui radio, televisi lokal, dan internet; serta PKBI sedang menyusun modul untuk anak usia dini.
Lalu di mana peran negara? Menurut Prof. Muhadjir, negara seharusnya memberikan pelayanan yang terbaik untuk anak. Prof. Muhadjir mengatakan, upaya yang harus dilakukan negara untuk mengurangi angka pernikahan dini adalah dengan menyadarkan masyarakat Indonesia tentang hak anak.
Sementara itu, menurut Basilica Dyah Putranti, menambahkan ada dua upaya yang harus dilakukan negara yaitu merevisi UU Perkawinan dan melaksanakan program wajib belajar secara serius. Wajib belajar menjadi penting karena bila anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan gratis, harapannya orang tua bersedia menyekolahkan anaknya daripada menikahkan anaknya. Otomatis angka pernikahan dini akan berkurang.