Pasar Legi Kotagede: Tradisi Sejak Abad ke-16

oleh: Diatami Muftiarini

Pasar Legi di Kotagede merupakan pasar tradisional tertua di Yogyakarta yang dibangun pada abad ke-16 dan masih menjalankan akvititas pasar tradisionalnya sampai sekarang. Pasar yang berlokasi di Jl. Mentaok Raya, Purbayan, Kotagede ini dinamakan Pasar Legi berdasarkan hari pasaran di kalender Jawa, yang memuat pahing, pon, wage, kliwon, dan legi. Kelima hari pasaran tersebut menjadi patokan pasar-pasar tradisional di DIY.

Setiap legi, Pasar Kotagede mencapai puncak keramaiannya, sampai menutupi bahu jalan pasar dan mempersempit ruas jalan di sekitarnya.

Hal paling mencolok dari Pasar Legi Kotagede adalah keramaian pedagang hewan, terutama unggas seperti burung, ayam, angsa, dan mentok. Adapula pedagang hewan lain, seperti kelinci dan ikan hias. Pedagang sandangan murah, alat-alat besi, obat herbal, dan perhiasan batu akik juga ikut meramaikan kehidupan Pasar Legi Kotagede.

Biasanya para pedagang sudah ada di lokasi sejak pukul 06.30 WIB. Kehidupan Pasar Legi Kotagede mulai ramai sekitar pukul 07:00 WIB, akan semakin ramai ketika memasuki waktu pukul 10:00 WIB, dan mulai sepi setelah lewat pukul 12 siang.

Keramaian pasaran legi di Kotagede yang jatuh pada Rabu, 26 April 2017, sekitar pukul 07.30 WIB. Pengunjung ramai mendatangi pedagang burung yang berjejer di sepanjang Jalan Watu Gilang dan Mondorakan. Jalan yang juga sebagai arus bagi pengendara bermotor ini seringkali macet karena dipadati pengunjung dan pedagang pasar.
Keramaian pengunjung sedang melihat aneka jenis burung yang dijual.
Bambang (48 tahun), seorang penjual ayam, setiap legi selalu datang berjualan ke pasar Kotagede. Pada hari biasa ia berjualan ayam di Pasar Terban. “Saya senang berjualan di pasar superti ini, karena bertemu dengan banyak teman,” kata Bambang (24/4).
Interaksi jual beli tidak terjadi antara pedagang dan pembeli biasa, tetapi juga antara pedagang dan pedagang lainnya. “Kalau ada dagangan teman yang bagus dan murah, saya beli. Karena sehabis ini saya langsung ke Pasar Terban untuk berjualan ayam lagi,” kata Bambang.
Bono (40 tahun), seorang penjual ayam dan juga burung, tidak hanya berjualan di Pasar Legi Kotagede, tapi juga di pasar tradisional lain seperti Pasar Pon Godean. “Yang bikin seru itu keliling pasar-pasarnya, dibandingkan hanya diam di satu pasar saja,” kata Bono (24/4).
Menelusuri jalan Mentaok Raya, terdapat sekelompok laki-laki, muda maupun tua, sedang duduk sambil memegangi ayam jago milik masing-masing. Ayam jago tersebut bukan sedang dipersiapkan untuk diadu, melainkan hanya dipertontonkan untuk menarik pembeli. Sudah ada larangan dari pihak pengelola Pasar Kotagede bagi pedagang ayam jago untuk mengadu ayam di sana. Ini berbeda dengan pasar tradisional lainnya yang masih mengadakan adu ayam jago sebagai hiburan sekaligus meningkatkan daya jual ayam jagonya.
Nur (40 tahun), penjual ayam jago, hanya sesekali mengadukan ayamnya ketika ke Pasar Pahing Sleman. “Itu berdasarkan insting saja. Kalau insting mengatakan beruntung, maka saya mengadunya di pasar Sleman. Harga ayam jago biasanya hanya Rp200.000,-. Jika menang adu, harganya bisa dua sampai tiga kali lipat,” kata Nur (26/4). Selebihnya ia hanyalah penjual ayam jago biasa di beberapa pasar kalender Jawa, seperti Pasar Sleman (pahing) dan Pasar Pleret (wage). “Saya mencari keramaian pasar tradisional. Pengunjung pasar yang ramai saat pasaran legi mendatangkan rezeki kepada saya lebih banyak dibandingkan hanya berjualan di pasar biasa.”