Oleh Ni Luh Putu Juli Wirawati
Di balik pengukuhan Yogyakarta sebagai kota yang toleran ternyata ada sebuah perlawanan. Perlawanan ini datang dari Korban Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Mereka menolak pemberian penghargaan itu sebab bagi mereka Yogyakarta bukanlah kota yang toleran. Salah satu kasusnya adalah usaha pembubaran Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al-Fatah di Jagalan, Banguntapan, Bantul karena dituduh ingin membuat fiqih waria.
Kasus ini bermula dari penyebaran berita negatif tentang ponpes tersebut melalui sebuah portal berita. Shinta Ratri (54), pengurus ponpes, mengatakan bahwa wartawan dari portal berita tersebut mendatangi ponpes dan menanyakan kegiatan dan profil Ponpes Al-Fatah. Namun, berita yang diterbitkan ternyata tidak sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan pihak ponpes.
“Mereka memelintir fakta yang didapat, dilihat dari judulnya saja sudah membuat orang beranggapan negatif,” kata Shinta. Akibatnya, ponpes ini mulai tutup sejak Februari 2006.
Berita itu menyebutkan bahwa ponpes akan membuat sebuah fiqih waria. Shinta menanggapi bahwa sebenarnya mereka tidak ingin membuat sebuah fiqih sendiri. Ia hanya dimintai bantuan oleh institusi pendidikan. “Kami hanya membantu pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga untuk membuat sebuah fiqih waria,” terangnya.
Namun, kegiatan ini disalahartikan dan dijadikan alat untuk membubarkan ponpes. Shinta menambahkan bahwa tuduhan itu terus didengungkan dan dijadikan sebuah alasan bagi Front Jihad Islam (FJI) untuk melakukan pembubaran kegiatan mereka.
Pembubaran ini pada awalnya dilakukan dengan menyerukan sebuah pesan melalui sosial media. Emanuel Gobay (31), staf divisi sipil dan politik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mengatakan bahwa isi pesan itu adalah rencana kedatangan pihak FJI ke Ponpes Waria Al-Fatah. Edo, sapaannya, menambahkan bahwa Shinta langsung melaporkan pesan tersebut pada LBH. “Pihak kami bersama dengan Shinta mendatangi Polsek Banguntapan untuk melaporkan hal tersebut,” kata Edo.
Pihak FJI membenarkan bahwa mereka pernah mendatangi Ponpes Al-Fatah. Abdurahman (38), salah satu pendiri FJI, mengatakan bahwa alasannya adalah karena Ponpes Al-Fatah ingin membuat sebuah fiqih waria. “Kami mendapatkan laporan bahwa mereka ingin membuat sebuah fiqih waria, makanya kami mendatangi ponpes untuk memverifikasi informasi tersebut,” kata Abdurahman saat ditemui pada Selasa (31/5).
Abdurahman mengatakan bahwa warga di sekitar ponpes merasa resah dengan keberadaan ponpes tersebut. Ia menambahkan bahwa warga menuntut agar ponpes ditutup. “Pihak kami datang menemui warga dan ternyata warga juga ingin ponpes dibubarkan,” ungkapnya.
Menangggapi hal itu, Shinta mengatakan bahwa warga sama sekali tidak merasa terganggu dengan keberadaan mereka. “Warga sekitar dari awal hingga sekarang menerima kami dan hubungan kami baik-baik saja dengan mereka,” kata Shinta. Bagi Shinta, yang menjadi permasalahan adalah aparatur desa yang tidak menyetujui keberadaan ponpes karena keamanan wilayah terganggu.
Munarto (43) selaku ketua RT 09 Celenan, Jagalan, mengatakan bahwa pada awalnya kegiatan di ponpes itu tidak memperoleh izin darinya. “Tapi, karena pemilik ponpes itu warga RT 09, jadi saya toleransi saja,” ungkap Munarto. Toleransi ini membuat kegiatan Ponpes Al-Fatah yang dulu tidak diprotes oleh warga. Meski demikian, Munarto juga pernah beberapa kali memberikan teguran saat mereka berkegiatan sampai malam. “Saya biasanya langsung tegur ke rumahnya,” ungkapnya.
Munarto menambahkan bahwa ia kini tidak lagi memberikan toleransi atas kegiatan yang dilakukan oleh ponpes. Hal ini dikarenakan adanya isu pembuatan fiqih waria. “Saya tidak setuju kalau mereka ingin membuat fiqih waria,” kata Munarto. Isu pembuatan fiqih ini sendiri ia ketahui pada saat FJI mendatangi ponpes. “Sebelumnya saya tidak tahu, tiba-tiba FJI datang dan mereka mengatakan bahwa ponpes ingin membuat fiqih waria,” katanya.
Munarto mengatakan bahwa alasan lainnya ia melarang kegiatan ponpes sekarang ini adalah keamanan warga. “Banyak yang datang ke wilayah ini tanpa permisi, sehingga terkesan tidak menghormati warga,” ungkapnya. Munarto juga takut keamanan warga terganggu apabila FJI kembali mendatangi ponpes tersebut. “Warga resah karena kondisi lingkungan yang tenang menjadi ramai akibat kedatangan FJI,” kata Munarto.
Abdurahman mengatakan bahwa pihaknya sebenarnya mendukung keberadaan ponpes dengan syarat para santri waria bertaubat terlebih dahulu. Ia menambahkan bahwa bertaubat berarti mereka harus menjadi laki-laki. “Kalau mereka tidak taubat kan kasihan juga, padahal mereka membuat ponpes dengan tujuan untuk memperdalam agama,” katanya.
Bagi Abdurahman, kegiatan yang dilakukan oleh ponpes ini sudah menyimpang karena melanggar syariat Islam. Ia juga mempertanyakan tujuan sebenarnya dari ponpes ini. “Takutnya kalau ponpes ini hanya kedok belaka,” katanya.
Shinta sendiri menyadari bahwa banyak orang yang beranggapan bahwa ponpes ini hanya kedok belaka. Namun, ia dengan tegas mengatakan bahwa hal itu tidak benar. “Kalau hanya sekadar untuk berkumpul, tanpa adanya ponpes pun kami masih bisa berkumpul bersama,” ungkapnya.
Menanggapi kasus ini, Edo mengatakan bahwa pembubaran terhadap kegiatan Ponpes Waria Al-Fatah mencerminkan tindakan intoleransi. “Mereka membatasi hak asasi manusia, hak untuk berkeyakinan, dan hak untuk beragama,” katanya. Edo menambahkan bahwa pembubaran ini juga menghilangkan hak atas pendidikan agama bagi santri waria. “Hak mereka untuk belajar dan memahami agama dihalangi oleh kelompok intoleran,” pungkasnya.