oleh Tazkiyatun Azzahra
Penertiban gelandangan dan pengemis sebagai penerapan Perda No. 1 Tahun 2014 (Perda Gepeng) ternyata tidak semulus larangan pemberian uang kepada gepeng di persimpangan jalan. Kondisi yang tidak layak dan dugaan pelanggaran hak asasi terjadi di tempat penampungan sementara gelandangan dan pengemis (Camp Assessment) yang dikelola pemerintah di Sewon, Bantul. Perbedaan keterangan dari pihak-pihak yang terlibat langsung dengan Perda ini menimbulkan sejumlah pertanyaan besar mengenai apa yang sebetulnya terjadi di camp.
Kaukus untuk Perda Gepeng, jaringan yang terdiri dari berbagai lembaga,komunitas sosial, serta individu yang melakukan advokasi untuk menolak Perda No. 1 Tahun 2014, melakukan observasi di Camp Assessment selama tahun 2015. Mereka menemukan ketidakjelasan prosedur administrasi di camp seperti tidak adanya penjelasan dari petugas camp mengenai nasib penghuni camp ketika baru masuk pada tahap observasi, apa yang akan dilakukan di camp, dan tahap yang perlu dilakukan sampai dengan pembebasan ataupun penyaluran.
Gandar Mahojwala, Koordinator Divisi Advokasi periode 2015 dari komunitas Save Street Children (SSC), membenarkan situasi tersebut. Menurutnya, selama SSC melakukan pendampingan terhadap penghuni camp, petugas tidak pernah memberikan kejelasan mengenai prosedur yang ada di camp. Pihak SSC telah berkali-kali menanyakan mengenai prosedur di camp kepada petugas, namun tidak pernah mendapat jawaban yang pasti.
“Memang belum ada prosedur yang jelas. Jika memang ada prosedur, kami tidak pernah mendapatkan informasinya,” kata Gandar.
Selain itu, Kaukus juga menemukan adanya pembiaran pada tahap observasi selama 4-5 hari. Pada tahap tersebut, tidak ada kegiatan apa pun dan penghuni tidak boleh keluar dari ruang observasi seluas 7 x 15 meter persegi. Selama itu, seluruh penghuni dicampur mulai dari anak-anak, orang dewasa, lanjut usia, waria, difabel, juga orang yang sakit. Baik laki-laki maupun perempuan.
Pernyataan Kaukus tersebut dibenarkan oleh Ahmad, seorang pengamen sekaligus eks penghuni camp ketika diwawancarai di kediamannya pada Selasa(29/3). Menurut Ahmad, ketika ia pertama kali dibawa ke camp assessment, ia merasa kebingungan. Tidak ada penjelasan dari petugas kenapa ia ditangkap. Juga tidak ada penawaran apa pun dari pihak camp.
Setelah semua ponsel dikumpulkan, setiap penghuni yang baru masuk difoto oleh petugas. Kemudian penghuni didata oleh petugas Dinas Sosial DIY. Namun, setelahnya tidak ada infomasi yang diberikan sampai 5 hari kemudian. Keterangan bahwa akan diberikan pendamping pun didapatkan Ahmad dari sesama penghuni yang sudah lebih dahulu berada di camp.
Setelah keluar dari tahap observasi, pihak camp memberikan informasi soal pendamping. Penghuni kemudian dibagi berdasarkan kategorinya masing-masing. ”Semua yang baru masuk seperti itu. Tidak mengerti apa-apa. Yang menjelaskan adalah penghuni yang sudah lebih dahulu di karantina, bukan pekerja sosial. Saya stres sekali di ruang karantina karena penuh sekali dan dicampur. Awalnya tidak mau makan, tapi karena lapar akhirnya makan juga,” tutur Ahmad.
Namun hal ini bertolak belakang dengan keterangan yang diberikan oleh Ir. Baried Wibawa, Kasi Rehabilitasi Sosial Tuna Susila dan Korban NAPZA Dinas Sosial DIY sekaligus penanggung jawab Camp Assessment ketika ditemui di kantornya pada Rabu (6/4). Menurut Baried, ketika ada penghuni camp yang baru masuk, pekerja sosial langsung mengkondisikan dan memberikan pengarahan terkait Camp Assessment. Kecuali hari libur, yang pengarahannya ditunda sampai hari kerja.
“Memang ada pengarahan dan sosialisasi kepada penghuni camp ketika baru datang. Pengarahan tersebut berupa pengetahuan mengenai apa itu Camp Assessment, regulasinya, kewajiban ketika menghuni camp, hak-haknya, semua sudah diberi pengarahan,” kata Baried.
Menurut keterangan yang dikumpulkan Kaukus dari penghuni serta eks penghuni camp pada tahun 2015, terjadi sejumlah kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh petugas kepada penghuni camp. Kekerasan tersebut antara lain; seorang nenek dipukul dan disundut rokok dengan alasan mencuri, seorang laki-laki dipukul serta alat ngamen yang dimilikinya dipecah, juga ada seorang anak yang diseret oleh petugas. Selain itu, seorang waria dipaksa untuk memotong rambutnya dan disuruh menjadi laki-laki.
Menurut Ahmad, kekerasan dan perlakuan diskriminatif memang terjadi di camp. Ketika pertama kali tiba, Ahmad melihat seorang nenek diseret sejauh tujuh meter oleh petugas camp. Nenek tersebut menangis dan berteriak memohon untuk dipulangkan kepada petugas. Setelah diteriaki oleh Ahmad dan penghuni camp lain, petugas kemudian membawa kasur roda untuk memindahkan sang nenek. “Padahal dua orang petugas kuat untuk mengangkat nenek tersebut, kenapa harus diseret?” kata Ahmad.
Ahmad juga berkata bahwa ada seorang pemuda bergaya punk yang dipukuli oleh petugas karena mencoba kabur. “Ketika mendorong temannya ke atas pagar, temannya lolos, dia tidak. Dia kemudian disembunyikan oleh petugas ke dalam sebuah ruangan dan digulung. ‘Digulung’ itu istilah kami untuk ‘dipukuli’,” katanya.
Ia juga melihat sekelompok pemuda punk dipaksa untuk gundul oleh petugas. Ketika ia menanyakan mengenai kapan waktu ia akan dikeluarkan dari tahap observasi, petugas membalas dengan perkataan, “Manut kono ben jinak sek,” katanya. Ahmad kemudian merasa tidak terima dengan perlakuan dari petugas tersebut, “Dijinakkan? Memangnya kami binatang? Saya tahu dia ada unsur bercanda, tapi saya marah waktu dengar,” tutur Ahmad.
Baried membantah perihal terjadinya kekerasan di camp assessment. Menurutnya pihak Dinas Sosial DIY telah memberi rambu-rambu untuk tidak melakukan kekerasan fisik pada proses penanganan di camp. Ia menjelaskan bahwa seluruh petugas yang berada di camp sudah mendapat pendidikan selama 2 minggu mengenai penanganan di camp assessment tahun 2013 lalu, sebelum Perda no. 1 tahun 2014 diresmikan.
Pelatihan tersebut meliputi pendampingan dan pelayanan serta cara menghadapi penghuni camp yang merupakan gelandangan dan pengemis. Selain itu juga ada pelatihan mengenai regulasi yang bersangkutan. “Saya yakin tidak ada kekerasan fisik di sana. Saya malah baru dengar kalau ada istilah ‘digulung’. Kalau soal diseret itu mungkin mau diajak ke mana tapi seperti diseret. Apa pun itu pasti tujuannya baik.” Ia menambahkan bahwa terkadang gepeng yang marah karena ditangkap maka ia merendahkan martabat pekerja sosial.
Selain itu, data observasi juga menyebutkan bahwa pelayanan untuk HIV, penderita sakit, serta difabel juga masih kurang memadai. Salah seorang ODHA kehabisan obat ARV(Antriretrovial) ketika berada di camp. Kemudian petugas menanyakan jumlah uang yang dipegang oleh penghuni tersebut. Ia disuruh membayar, bertemu petugas dari Dinas sosial DIY. Setelah didata, penghuni dibebaskan.
Untuk penanganan kesehatan dari poliklinik camp, seorang penghuni melihat penghuni lainnya ada yang sakit dan tidak mau makan namun tidak ditanggapi oleh petugas. Pada tahap obsevasi, ada penderita diabetes dan stroke yang dibiarkan begitu saja tanpa perlakuan atau menu makan khusus. Menurut Ahmad, ada seorang penghuni yang memiliki riwayat depresi. ia kemudian mengeluarkan kartu kuning dan diperlihatkan kepada petugas. Namun petugas menuduh orang tersebut terjangkit narkoba.
“Waktu itu juga saya sempat flu dan migrain. Saya kemudian minta obat ke poliklinik, malah dikira mau disalahgunakan,” tutur Ahmad. Begitu juga dengan penanganan difabel. Ahmad berkata bahwa ketika ia berada di camp, seorang difabel tuna rungu dan tuna netra ada yang mengalami kesulitan karena pendamping yang tak acuh. Ahmad menuturkan bahwa terkadang di camp tidak ada air sehingga penderita difabel tersebut kesulitan untuk buang air besar. “Akhirnya saya dan teman-teman yang bantu bapak penyandang difabel tersebut. Biasanya saya teriak panggil satpam. Terkadang satpam mengulurkan selang, terkadang tidak,” katanya.
Fasilitas dari camp pun dianggap kurang memadai, terutama untuk makanan dan kebersihan air. Menurut Ahmad, makanan yang diberikan hanya tahu, tempe, dan sayuran yang rasanya hambar. Selain itu, nasinya pun keras. Dua minggu sekali disediakan telur dan ikan asin. Air di kamar mandi kuning dan bau karat. Seringkali juga air habis. Namun, sikat gigi diberikan untuk masing-masing penghuni. Untuk sabun dan pasta gigi, satu buah untuk dua orang.
“Saya sampai gatal-gatal karena air di sana. Kalau kumat ini parah. Saya harus berobat ke spesialis kulit. Tapi air di musholla belakang camp jernih. Saya sikat gigi di sana. Tidak tahu kenapa di camp bisa begitu kotor. Kata teman-teman saya yang pernah jadi tahanan di Lapas, masih mending di Lapas,” ujar Ahmad.
Menurut Tri, Kepala Camp yang menjabat sejak akhir tahun 2014, fasilitas dan pekerja, dan penyediaan tempat di camp memang kurang memadai. Jumlah pekerja camp yang hanya dua belas orang dianggap kurang untuk mendampingi penghuni camp. Pasalnya, penghuni yang ada di camp selalu melebihi kuota. Jumlah pekerja yang kurang memadai disebabkan oleh kurangnya pendanaan dari pemerintah.
“Kuota kita hanya 150. Tapi, kenyataannya bisa di atas itu. Sekarang saja ada 230 orang. Pramuruktinya juga hanya empat,” ujarnya saat diwawancarai di Camp Assessment pada Sabtu(30/4).
Jumlah yang berlebih, menurut Tri, disebabkan oleh membengkaknya jumlah penghuni psikotik yang tidak dapat disalurkan ke RS Grhasia. Permasalahan di RS Grhasia pun sama, yaitu jumlah yang telah melebihi kuota. Rata-rata penghuni psikotik bisa tinggal sampai dengan dua tahun di camp, meskipun sifat Camp Assessment hanya sementara.
“Orang gila dan stres itu banyak sekali. Pihak keluarga banyak yang tidak mau menerima,” tambah Tri.
Baried mengatakan bahwa memang tidak ada perlakuan khusus untuk penghuni difabel karena jarang ada difabel yang masuk ke camp. Kalaupun ada, akan segera disalurkan ke panti untuk ditindaklanjuti disana. Untuk ODHA, menurutnya, penanganan sudah optimal.
“Semua petugas sudah mengetahui bagaimana menghadapi ODHA. Yang penting obatnya ada. Kalau habis akan kami antar ke RS Sardjito untuk mengambil obat karena kami tidak membuat obat ARV. Untuk pencampuran dengan penghuni lain saya rasa tidak apa-apa, karena HIV Aids menular lewat hubungan seks atau perpindahan cairan,” katanya.
Penanganan di poliklinik juga dirasanya sudah cukup. Camp memiliki dua orang dokter dan empat orang perawat. Untuk penghuni anak-anak, Baried bertutur, bukan merupakan kewenangan pihak camp. Anak-anak langsung dikirimkan ke Rumah Perlindungan Sosial.
Menurut Baried, camp juga sudah memenuhi kebutuhan dasar penghuni baik untuk fasilitas, makan, minuman juga sanitasi air. Makanan diberikan tiga kali dalam sehari. Ada sayur dan ada lauk. Ada krupuk dan buah untuk siang hari serta snack untuk sore hari. Ketika ditanya perihal air yang berwarna kuning, beliau mengatakan, “Semua air di Sewon memang seperti itu warnanya. Kalau ada keluhan biasanya disedot. Kloset sering tersumbat karena penghuni memasukkan sampah penyumbat ke sana. Kami sedang mengusahakan perbaikan pipa air untuk tahun ini.”
Pihak DPRD DIY telah empat kali berkunjung untuk melihat keadaan camp sejak diresmikan bersamaan dengan Perda No. 1 Tahun 2014. Menurut Baried, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk camp sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar penghuni camp. Rencanaya, akan diadakan perbaikan-perbaikan di camp, seperti perbaikan saluran air. Bahkan dana yang dianggarkan untuk camp lebih besar daripada dana yang dianggarkan untuk panti-panti tempat sebagian penghuni camp disalurkan setelah keluar.
Beberapa komunitas yang tergabung di Kaukus untuk Perda Gepeng masih mengusahakan audiensi dengan pihak-pihak berwenang seperti Dinas Sosial DIY, Satpol PP, dan DPRD DIY, dengan harapan Perda ini dapat ditinjau ulang. “Kami menginginkan audiensi ulang yang lebih layak dan mengundang pihak berwenang. Tapi sampai sekarang belum ada jawaban dari pihak DPRD DIY terkait pengaturan ulang jadwal audiensi,” ujar Gandar.