Renungan IWD: Perempuan Mitra Laki-laki dalam Pembangunan

(dari kiri ke kanan) Ruth Indiah Rahayu, Linda Sudiono, dan Anindya Dessi Wulansari selaku moderator. Sumber foto: MAP Corner UGM

Oleh Nizmi Nasution

Yogyakarta (8/3) – Sudah sekian lama International Women’s Day (IWD) diperingati, namun ironisnya sampai saat ini jutaan perempuan masih hidup di bawah upah standar, rentan mengalami pelecehan dan kekerasan, persentase partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki pada politik praktis rendah, dan segala bentuk marjinalisasi lainnya. 

Dalam rangka memperingati IWD yang jatuh setiap 8 Maret, Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (MAP Fisipol UGM) menggelar diskusi dengan tema “Perempuan dan Relasi Kelas dalam Kapitalisme” pada Selasa (6/3) sore di lobi MAP UGM. Diskusi ini mengundang dua pembicara, yaitu Linda Sudiono, dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Ruth Indiah Rahayu, penulis di Indoprogress sekaligus peneliti di Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif.

“Kalau membicarakan gerakan perempuan, jangan hanya kekinian yang dipelajari. Tetapi juga harus ada pertanyaan apakah peristiwa yang terjadi sekarang punya hubungan dengan yang di masa lalu,” kata Ruth.

Ia kemudian menjelaskan IWD yang pertama kali digelar bertujuan untuk membebaskan perempuan dari eksploitasi kapitalis yang muncul sebagai dampak dari Revolusi Industri. Perjuangan perempuan saat itu adalah menuntut pemotongan jam kerja menjadi delapan jam yang semula 14-18 jam sehari.

Perempuan berambut pendek tersebut menambahkan bahwa beban ganda yang saat ini dipikul perempuan, yakni sebagai perempuan dan buruh berawal dari Revolusi Industri. Perempuan dipaksa bekerja menjadi buruh pabrik untuk memenuhi tuntutan tenaga kerja secara besar-besaran. Selain bekerja di pabrik, perempuan juga harus bekerja di rumah, melayani suami dan mengasuh anak. Kampanye-kampanye di media mengonstruksi bahwa perempuan harus lemah lembut, mengayomi, memiliki sifat pengasuhan, dan bisa mengambil tanggung jawab di keluarga.

“Konstruksi tersebut sebenarnya bertujuan untuk mempersiapkan anak sebagai tenaga kerja baru bagi perusahaan,” ujarnya.

Linda memaparkan materi yang berbeda dengan Ruth. Linda menjelaskan bahwa ada empat penindasan kapitalisme terhadap perempuan yang dimanfaatkan melalui budaya seksisme. Pertama, pemberian upah yang lebih rendah.

“Berdasarkan data diketahui bahwa upah pekerja perempuan penuh waktu hanya 89% dari total upah yang diberikan kepada laki-laki pekerja penuh waktu. Sedangkan upah untuk pekerja perempuan paruh waktu hanya 56% dari total upah yang diberikan kepada laki-laki pekerja paruh waktu,” ujarnya.

Kedua, kapitalisme akan memanfaatkan stereotip negatif terhadap perempuan sebagai daya tarik yang atraktif terhadap produk-produknya. Ketiga, stereotip negatif terhadap perempuan digunakan untuk mempertahankan institusi keluarga. Keempat, mengaburkan kontradiksi objektif yang terjadi dalam masyarakat, yaitu kontradiksi kelas, sehingga kontradiksi yang terjadi di masyarakat seolah-olah kontradiksi antara perempuan dan laki-laki.

Menanggapi diskusi tersebut, Alnick Nathan, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa tema Perempuan dan Relasi Kelas dalam Kapitalisme sangat penting untuk dibicarakan. Hal ini memberi wacana bahwa permasalahan penindasan perempuan harus dilihat secara lebih luas dan tidak hanya persoalan hak-hak individu. “Penindasan terhadap perempuan terjadi dua kali lipat, yakni sebagai perempuan dan sebagai buruh,” ucap mahasiswa Departemen Manajemen Kebijakan Publik UGM ini.

(Editor: Veronica Pasaribu/ *)