oleh Ilma Kinasih
Berawal dari keprihatinan aktivis perempuan akibat maraknya kekerasan terhadap perempuan, Rifka Annisa berdiri pada 1993 di Yogyakarta sebagai pusat penanganan kekerasan berbasis gender yang pertama di Indonesia. Dengan fasilitas konseling psikologis dan bantuan hukum yang tidak dipungut biaya, Rifka Annisa dengan cepat menjadi salah satu LSM feminis paling dikenal. Jumlah klien yang mengadukan kasus pun bertambah setiap tahunnya, menandakan Rifka Annisa telah berhasil menjalankan makna dari namanya—teman perempuan.
Suwarni Angesti Rahayu, Musrini Daruslan, Sri Kusyuniati, Desti Murdijana, Latifah Iskandar, dan Sitoresmi Prabuningrat adalah enam pendiri Rifka Anisa. Mereka merupakan aktivis perempuan ternama pada masanya, yang disatukan atas keprihatinan yang sama—banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan, korban yang tidak berdaya, dan warga yang tahu tapi diam saja, dengan dalih itu urusan pribadi rumah tangga mereka.
Pada awalnya kehadiran Rifka Annisa tidak diterima dengan baik oleh warga Yogyakarta. Menurut Sabar Riyadi (46), Staf Divisi Internal di Rifka Annisa, banyak yang beranggapan bahwa lembaga ini memasuki ranah yang, menurut orang jawa, ora ilok (tidak baik). Ada juga sebagian warga yang menjulukinya sebagai “lembaga pencerai”, karena korban perempuan yang mengadukan kasus ke Rifka Annisa biasanya berakhir dengan meminta cerai pada pasangannya.
Dengan berbagai usaha penggalangan dana, sumbangan dana dari donatur, serta bantuan sponsor, Rifka Annisa perlahan mulai membangun dirinya dan mendapatkan perhatian dari masyarakat. “Tahun 1995 itu kami masih sosialisasi, masih dapat banyak feedback negatif dari masyarakat sekitar. Tiga tahun kemudian, klien mulai berdatangan. Ternyata banyak perempuan yang merasa butuh wadah dan bantuan untuk kasus kekerasan yang mereka alami,” ujar Sabar.
Klien yang datang ke Rifka Annisa meningkat drastis setelah warga mengetahui layanan yang mereka tawarkan. Mulai dari konseling psikologis dengan ahli psikolog perempuan, konsultasi dan pendampingan hukum, sampai dengan konseling perubahan perilaku bagi pasangan pihak laki-laki, semua itu ditawarkan secara gratis. Hal itu dikarenakan, menurut Sabar, Rifka Annisa menjalankan sepenuhnya peran yang ada di balik namanya, yaitu “teman perempuan”—tentunya teman tidak mungkin meminta biaya atas bantuan yang diberikan.
Salah seorang klien perempuan (34) yang pernah menjadi korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) berkata bahwa ia merasa lega ada tempat seperti Rifka Annisa. “Segala proses pengaduan saya dipermudah, bahkan sampai ke tingkat hukum. Saya bisa cerita segala perlakuan buruk suami saya tanpa harus takut dengan cibiran tetangga di kampung. Saya menjadi merasa aman,” ujarnya saat ditemui pada Jumat (1/4) di Perpustakaan Kota Yogyakarta.
Rifka Annisa menjalankan segala penanganan kasusnya secara tripartheid atau kerja sama tiga arah. Kerja sama tersebut meliputi pihak lembaga pendamping, rumah sakit, serta kepolisian, yang berarti bahwa segala kasus kekerasan yang masuk di salah satu pihak tersebut, akan diproses bersama oleh ketiganya.
“Terkadang kami dapat panggilan dari rumah sakit, karena ada pasien yang terindikasi sebagai korban kekerasan. Lain waktu kami dapat rujukan dari kepolisian, karena ada tetangga korban atau bahkan korbannya langsung yang melaporkan kasus kekerasan yang dialami. Untuk lembaga pendamping, biasanya kami kerja sama untuk tindak lanjutnya, terutama bantuan hukum,” ujar Sabar di kantor Rifka Annisa Women Crisis Center, Rabu (30/3).
Selain penanganan kasus, Rifka Annisa juga menjalankan berbagai macam program preventif. Upaya-upaya pencegahan tersebut dilakukan dengan cara sosialisasi lewat leaflet, poster, situs, dan berbagai media lainnya, termasuk media hiburan. Program yang dilakukan melalui media hiburan di antaranya seperti pembuatan film pendek dan dokumenter mengenai kekerasan berbasis gender, siaran mingguan di Radio Istakalisa (96.2 FM), sampai kampanye beranggotakan para seniman Yogyakarta dengan nama Rannisakustik pada 2008.
Rifka Annisa juga memiliki peran penting dalam penyusunan kebijakan pemerintah. Munculnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan hasil advokasi Rifka Annisa beserta beberapa LSM feminis lainnya. Undang-undang lain terkait penghapusan kekerasan berbasis gender seperti Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (diperbarui menjadi UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak) juga merupakan hasil dari kerja keras para aktivis perempuan ini.
Sebagai lembaga swadaya masyarakat yang tidak berada di bawah pemerintah, dana menjadi tantangan utama Rifka Annisa. Mereka tidak bisa selamanya mengandalkan donatur dan sponsor, terlebih lagi pemasukan dari klien, karena layanan yang ditawarkan bebas biaya. Berbagai usaha untuk mengakali keterbatasan dana sudah dilakukan, seperti mendirikan tiga cabang usaha salon pada 2010 dan menjual paket meeting serta training center bagi lembaga yang ingin studi banding di kantor mereka sekarang, yang terletak di Jl. Jambon 4 No. 69A, Kompleks Jatimulyo Indah, Kricak, Tegalrejo.
Menurut Defirentia One, Manajer Divisi Humas dan Media di Rifka Annisa, meski utama, uang bukanlah kendala satu-satunya. “Kami sering dapat ancaman dan intervensi dari beberapa ormas radikal di Yogyakarta ketika sedang mengadakan acara. Banyak dari mereka yang menganggap kami menyebarkan paham LGBT, padahal kami hanya mengedukasi soal kesetaraan gender, khususnya perempuan,” ujarnya saat ditemui pada Rabu (30/3) di kantor Rifka Annisa.
One (26) mengaku bahwa pihak internal Rifka Annisa sendiri pun mengalami beberapa kesulitan, di antaranya kemampuan tata kelola lembaga yang menurutnya masih kurang. “Banyak sekali laporan dan catatan ilmu yang tidak tersusun secara benar. Saya jadi kasihan pada pengurus Rifka Annisa berikutnya, pasti mereka pusing kalau mau transfer ilmu dari generasi kami,” ujarnya sambil tertawa. One sendiri merencanakan program internal terdekat berupa pelatihan tata kelola lembaga itu sendiri, agar para staf tidak kerepotan.
Meski pada awalnya mendapat banyak tanggapan negatif dari masyarakat, Rifka Annisa kini berdiri sebagai salah satu lembaga perempuan ternama di Yogyakarta. Stigma masyarakat telah berubah seiring berjalannya waktu, dan sekarang mereka menerima kehadiran Rifka Annisa dengan tangan terbuka.
Hal itu ditunjukkan dengan jumlah kasus pengaduan yang meningkat drastis selama lima tahun terakhir, seperti yang digambarkan pada grafik di bawah ini:
Keberhasilan Rifka Annisa juga ditunjukkan oleh feedback dari para klien yang selalu memuaskan. Indikator keberhasilan advokasi yang ditetapkan oleh pihak Rifka Annisa sendiri antara lain berupa adanya perbaikan pola komunikasi dengan pasangan, berani terbuka tentang pengalaman kekerasan yang dialami, lebih bisa mengelola emosi dengan baik, perubahan konsep diri, dan tentunya adanya perubahan perilaku kekerasan terhadap perempuan dan anak (untuk pihak laki-laki).