Webinar SEATALK #32: COVID-19 Menguak Kesenjangan Teknologi

Webinar yang diselenggarakan oleh PSSAT UGM membahas COVID-19 dalam perspektif ilmu sosial (9/4)
(Foto: Dok. PSSAT UGM)

Oleh: Gasha Dhimar Sampoerna

Kurangnya pemerataan adopsi teknologi di Indonesia menjadikan sektor kesehatan kurang siap menghadapi COVID-19. Kurang tegasnya kebijakan mengenai COVID-19 juga menghasilkan komunikasi publik yang kacau.

Webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM ini, (9/4) menghadirkan Anis Fuad dari Departemen Biostatistik, Epidermiologi, dan Kesehatan Populasi FKKMK (Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan) UGM dan Kurniawan Kunto Yuliarso dari Departemen Komuikasi Fisipol UGM. Topik yang diangkat mengenai COVID-19 dalam teropong ilmu sosial.

“COVID-19 itu sebagai disruptor sistem kesehatan digital, (awalnya) kemajuan teknologi medis menyebar dengan cepat namun sekarang penyakit lebih cepat menyebar dibandingkan kemajuan teknologi,” kata Anis. COVID-19 menguak kesenjangan teknologi medis maupun digital antar negara, juga antar daerah. Selain itu, penyebaran COVID-19 lebih cepat daripada kemajuan teknologi. Menurut situs https://covid19.go.id/, pasien positif di Indonesia berjumlah 12.776 per tanggal 7 Mei. Data tersebut mengindikasikan bahwa kemajuan teknologi medis merupakan suatu kewajiban.

Kurniawan memberikan perhatian pada isu media. Saat COVID-19 mewabah di Indonesia, masyarakat dan pemerintah terkaget-kaget. Hasil dari keadaan tersebut menciptakan narasi dua jenis media, yaitu media sosial dan media massa. Dalam praktiknya, dua narasi ini memiliki perbedaan standar, media sosial tidak memiliki standar yang dipakai berbeda sekali dengan media massa yang menggunakan standar jurnalisme.

“Perlu adanya komunikasi politik serta kebijakan publik yang solid agar menciptakan win-win solution, lalu para influencer sekiranya membantu narasi-narasi di media sosial agar menciptakan suasana yang tenang di masyarakat,” kata Kurniawan.

Sejauh ini, narasi di media sosial seringkali memakai daya kritis yang rendah sehingga potensi hoaks semakin besar. Berbeda dengan media massa, adanya standar membuat konten dengan daya kritis yang tinggi. Namun kedua narasi tersebut cenderung memiliki agenda atau kepentingan yang sama, yaitu agenda media itu sendiri. Menurutnya, perlu adanya media atau lembaga informasi daerah yang memiliki ketanggapan dalam situasi krisis ini. Lalu dilibatkannya sumber daya media dan informasi yang berkembang di masyarakat.