Dewita (kanan), Dewati (kiri) saat membawakan tari Golek Ayun-Ayun.
Oleh: Amalia Miftachul Chasanah
YOGYAKARTA—(8/3) Satu penari Jawa cantik tentu sudah menarik. Bagaimana jika saudara kembar sama-sama penari Jawa? Seperti Dewita dan Dewati yang menekuni tari klasik gaya Yogyakarta. Meksi kembar, keduanya memiliki kisah perjalanannya masing-masing.
“Saya mendapatkan passion saya kembali,” ungkap Dewita Rahmayana (25). Kesibukan Dewita dalam kegiatan akademiknya, membuat ia meninggalkan tari sejenak. Hingga akhirnya ia kembali menekuni hobi tersebut saat kuliah dengan bergabung bersama Swagayugama dan sanggar tari Pudjokusuman.
Dewita mulanya hanya mengenal tari kreasi. Kemudian ia tertarik untuk mempelajari tari klasik gaya Yogyakarta. Bukan hanya gerakan yang dipelajari, Dewita juga harus memahami filosofi gerakan, pakaian, hingga gendhing (musik) yang mengiringi tarian klasik gaya Yogyakarta.
Belajar tari klasik gaya Yoyakarta membutuhkan kesabaran, ketelatenan hingga kerendahan hati. Kesulitan ini yang menjadikan tantangan sendiri bagi Dewita untuk berlatih dan terus berlatih.
Tahun 2012 menjadi tahun bersejarah bagi Dewita. “Keraton membuka latihan tari lagi di Bangsal Kasatriyan, mulai saat itu saya latihan di Keraton,” kata Dewita. Guru tari Dewita di Sanggar Tari Pudjokusuman lah yang awalnya mengajaknya berlatih menari di Bangsal Kasatriyan.
Salah satu pencapaian terbesarnya dalam menari adalah menjadi bagian dalam Pagelaran Wayang Wong di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 2016. Pagelaran ini adalah salah satu pagelaran besar milik Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan setiap tahun.
Lain halnya dengan Dewati Rahmayani (25), saudara kembar Dewita. Dewati baru mengenal tari klasik di usia delapan belas tahun. Awalnya Dewati hanya tetarik menyaksikan pertunjukan tari dan wayang orang. Kemudian ia mencoba untuk belajar tari dan bergabung dengan Sanggar Pudjokusuman.
Tahun 2013 menjadi awal bagi Dewita untuk bergabung dengan penari di Keraton Yogyakarta. Hampir setiap minggu ia berlatih di Bangsal Kasatriyan. Dewati sering menari di luar kota seperti Jakarta dan Bali bahkan dirinya sempat membawakan tarian klasik gaya Jogja di Cina. “Proses belajar jauh lebih memiliki makna, tidak melulu soal juara,” kata Dewati.
Suka duka dalam menari pun pernah Dewati alami. Rasa kecewa datang ketika ia tidak maksimal dalam membawakan tariannya. Sebab yang paling sering mengganggu penampilannya adalah kondisi fisik. Tubuh yang prima memang menjadi syarat penting bagi seorang penari.
“Pengalaman paling buruk saat tampil di Jakarta,” kata Dewati. Kala itu dirinya berperan sebagai tokoh utama dalam pagelaran Wayang Orang. Namun, konsentrasi dan fokusnya sangat terganggu akibat dirinya sedang sakit flu.
Lain halnya dengan kisah penampilannya di Bali. Dewati merasa sangat puas kala itu. Ia bisa menunjukkan penampilan yang terbaik. Faktor lain yang juga mendukung kepuasannya yakni karena kerja sama yang bagus antara penari satu dengan yang lainnya.
Bagi Dewati, menari tidak hanya sekedar menyalurkan hobinya saja. Menari adalah bagian dari ketenangan hidup. Layaknya olahraga yoga, selain tubuh yang diolah, batin pun ikut dibentuk melalui latihan menari klasik. Fokus dan konsentrasi tinggi membuat siapapun yang mengikutinya seperti melakukan meditasi.
Dewita dan Dewati ini hadir di tengah-tengah para penggiat seni tari klasik gaya Yogyakarta dengan perjalanannya masing-masing. Keduanya memang tidak dilahirkan dari keluarga dengan latar balakang seni. Akan tetapi kecintaan mereka pada budaya Yogyakarta yang kemudian membawa mereka menekuni hobi ini.
Dewita dan Dewati sering disatukan dalam pentas yang sama. “Biasanya memang dicari yang tingginya sepantaran, jadi kami satu kelompok,” kata Dewita. Banyak tarian yang telah mereka bawakan bersama seperti Srimpi, Golek, Bedhaya, dan Tari Peperangan.
Dimas Tjahya (26), salah satu penonton pentas tari, mengaku sering melihat Dewita dan Dewati di panggung. “Adanya penari kembar itu, jadi daya tarik fotografer. Foto mereka di mana-mana, bisa dilihat di akun instagram-nya fotografer Jogja” kata Dimas.
Keberadaan penari kembar dalam pementasan menjadi daya tarik bagi penonton. “Sudah hafal reaksinya penonton kalau kami kembar,” kata Dewati. “Tapi hampir semua mereka terkejut, mengapresiasi, dan bahkan terpesona,” tambah Dewita.
Status Dewita dan Dewati sebagai anak kembar, dimanfaatkan juga sebagai bagian dari skenario pementasan. Mereka pernah secara sengaja disatukan dengan satu pasang penari kembar yang lain untuk menarikan Tari Srimpi.
(llma Kinasih/*)