Semerbak Apem Legendaris Bu Wanti

Bentuk apem yang bulat menjadi simbol “payung”, yang bagi masyarakat Jawa menjadi wujud permohonan ampun dan keselamatan bagi arwah leluhur kepada Yang Maha Kuasa (15/09).

Oleh: Mario Stephen Hadiwijaya

Sejak 1970-an, Apem Bu Wanti telah dikenal sebagai apem legendaris di Yogyakarta. Di tengah hiruk pikuk aktivitas Pasar Ngasem, Jalan Polowijan, No. 11, Patehan, Kraton, Bu Wanti menjual setidaknya 300 buah apem setiap harinya. Dengan resep turun temurun dan metode masak tradisional, Apem Bu Wanti terus eksis sebagai usaha keluarga sekaligus melestarikan kudapan tradisional apem.

Sebelum menggunakan merek dagang Apem Bu Wanti, pada tahun 1970 apem ini lebih dikenal dengan nama Apem Pasar Ngasem. Sejak 1990, usaha apem ini dilanjutkan oleh Ade Purwatiningsih, generasi kedua Apem Pasar Ngasem, yang kemudian mengubah namanya menjadi Apem Bu Wanti.

“(Perubahan nama) agar mudah diingat dan membedakan dengan yang lain, sebab di Pasar Ngasem terdapat beberapa penjual makanan sejenis (apem),” jelas Ade Purwatiningsih, pemilik Apem Bu Wanti (15/09).

Mentega dioleskan ke dalam cetakan sebelum adonan apem dituangkan. Mentega akan membuat adonan apem tidak lengket di cetakan dan terasa lebih gurih (15/09).

Berada di sebuah los pasar sederhana, tiga tungku arang sudah membara sejak pukul 06.00 pagi untuk memanggang adonan apem setiap harinya. Apem-apem yang telah matang disajikan di sebuah nampan persegi berbahan alumunium. Tidak kurang dari 3 kilogram adonan apem selalu ludes sebelum pukul 10.00 pagi.

“Bahkan di Bulan Ruah (nama bulan dalam kalender Islam) adonan apem bisa mencapai 6 kilogram ditambah (menjual) ketan dan kolak. Pada bulan Ruah penjualan apem sudah dimulai pukul 01.00 dini hari,” jelas Doni Lukisarto, suami Ade Purwatiningsih.

Sejak dulu hingga sekarang tidak ada perubahan dalam resep adonan apem ini. Hanya penggunaan tape sebagai pengembang diganti dengan ragi agar apem dapat bertahan lebih lama.

Malam sebelum proses pemanggangan apem, adonan tepung beras, air, dan gula pasir didiamkan semalaman. Dua jam sebelum pemanggangan adonan ditambahkan ragi, kelapa, dan telur untuk membuat apem menjadi mengembang.

“Adonan apem dimasak dengan arang di atas cetakan. Tungku masak tradisional ini dipertahankan mengingat kekhasan rasa apem yang dihasilkan ketimbang menggunakan kompor gas,” jelas Doni.

Sukristi, salah satu pelanggan setia, mengaku sangat menyukai cita rasa apem Bu Wanti. Komposisi apem terasa gurih, manis, dan bertekstur renyah di luar, tetapi lembut di dalam.

“Apem Bu Wanti adalah salah satu penjual apem legendaris di Yogya. (Apem Bu Wanti) menjadi pengingat jika ke Pasar Ngasem jangan lupa membeli apem,” kata Sukristi.

William Wongso, pakar kuliner kenamaan Indonesia yang pernah mengunjungi sekaligus mencicipi cita rasa Apem Bu Wanti (30/09).

Satu buah apem dibandrol dengan harga Rp. 2500. Keuntungan penjualan Apem Bu Wanti berkisar Rp. 500 – 600 ribu per hari dengan catatan apem selalu habis terjual.

“Berjualan itu menggembirakan. Bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi kebahagiaan bisa menjalin persaudaraan dengan pembeli maupun sesama pedagang pasar,” pungkas Doni yang setiap hari bertugas membantu Wanti memanggang apem.