Kampung Badran: Dari Kampung Preman Menjadi Kampung Ramah Anak

 

 

RW.09 Kampung Badran (sumber: rw09badran)

Oleh: Dina Rizky F

Kampung Badran  yang terletak di sisi barat Kota Yogyakarta, tepatnya di Kelurahan Bumijo, Kecamatan Tegalrejo, dulu terkenal sebagai “Kampung Preman”. Namun, kampung ini kini berubah menjadi Kampung Wisata Edukatif, bahkan menjadi salah satu Kampung Ramah Anak (KRA). Seiring waktu, warga Kampung Badran membuktikan bahwa stigma “kampung preman’ sudah tidak berlaku lagi.

  1. Sejarah Kampung Badran

 

Salah Satu Gang di Kampung Badran (sumber: vice)

 

Dulu Kampung Badran merupakan pemakaman China yang dibongkar dan dijadikan kawasan pemukiman. Pada 1950, kawasan Badran mulai dihuni dan menjadi kampung baru. Namun ternyata tidak semua makam dipindahkan, hal ini terlihat dari masih adanya makam di sekitar pemukiman warga dan dibangunnya Krematorium Wahana Mulia Badran.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa kawasan Badran dahulu merupakan tempat bebodro atau bermeditasi menjalani laku tirakat. Tepatnya di sebuah pohon besar yang dikeramatkan oleh masyarakat dan dihuni oleh sosok astral bernama Ki Bodronoyo yang letaknya berada di dekat Sungai Winongo. Akhirnya bebodro dan Ki Bodronoyo menjadi toponim nama kampung tersebut. Namun karena pengucapannya yang sulit, warga sekitar lebih nyaman menyebut Badran.

 

  1. Stigma Kampung Preman

 

Ilustrasi Preman (sumber: prfmnews.com)

Kampung Badran terkenal dengan sebutan “Kampung Preman”. Stigma ini muncul karena dahulu kondisi sosial masyarakatnya cukup negatif, mulai dari anak-anak jalanan, preman, sampai PSK hidup dengan segala ketidakteraturan dan menjadikannya kawasan ini nampak garang.

Menurut Joko Sukarno, salah satu warga (dikutip dari Gudeg.net), pada tahun 80-an kampung Badran dikenal sebagai kawasan preman dan menjadi stigma yang sangat berat bagi warga sekitar, terutama anak-anak karena mempengaruhi psikologsis mereka.

 

  1. Gun Jack, Sosok Ditakuti yang Menginspirasi

 

Sosok Gun Jack Muda (sumber: vice.com)

 

Meskipun dihuni oleh banyak preman, ada satu sosok yang paling tersohor dan ditakuti  oleh masyarakat, yakni Gunardi alias Gun Jack. Pria yang memiliki tinggi 175 sentimeter dan berkulit cokelat ini tidak nampak seperti preman pada umumnya, terlebih ia dikenal sebagai orang yang tidak emosional.

Sosoknya dikenal sebagai pribadi yang humoris dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Gun Jack sering menolong warga sekitar yang kesulitan ekonomi, mengadakan pengajian dan bahkan membangun total 18 masjid.

Menurut Rudi, teman Gun Jack (dikutip dari Tempo), alasan mengapa preman-preman segan padanya adalah karena hubungan baik dengan orang-orang berpengaruh dan merangkul orang-orang yang tersisihkan karena latar belakang dunia hitam. Gun menyebutnya dengan kaum marginal, ia berteman dengan kaum marginal.

 

  1. Bertransformasi menjadi Kampung Ramah Anak dan Kampung Wisata Edukatif
Wisata di Kampung Badran (sumber: gudeg.net)

Stigma “kampung preman” yang melekat pada Kampung Badran menimbulkan keresahan dan mendorong warganya melakukan wacana positif. Mereka kemudian membentuk perkumpulan yang dinamakan Forum Kampung Ramah Anak Badran RW 11 yang dicanangkan pada 22 Juli 2011 oleh Walikota Herry Zudianto.

Forum   tersebut melakukan berbagai macam kegiatan seperti kampanye kampung sehat dan bersih, pemberdayaan potensi anak dengan olahraga tenis meja, serta membuka sebuah kolam renang umum yang dikelola oleh warga RW. Pembangunan sarana dan prasarana ini merupakan program penataan kawasan dari Pemerintah Kota Yogyakarta dan menghabiskan dana  sebesar Rp 200 juta yang digunakan untuk perbaikan sumber mata air, tangga, jalan setapak, kolam renang, saluran mata air, dan gazebo.

Diharapkan Kampung Ramah Anak Badran akan menjadi sebuah jawaban perjalanan positif bagi warga kampung dan mampu mengubah stigma ‘kampung preman’ yang selama ini melekat.

 

  1. Membangun Budaya Malu

 

Ilustrasi Malu (sumber: mediabnr)

 

Dr. Yuli Setyowati, seorang Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD), melakukan sebuah penelitian agar Kampung Badran tidak terkungkung dalam stigma ‘kampung preman’ lebih lama lagi. Menurutnya, stigma sebagai “Kampung Preman” yang melekat sejak lama bisa berubah dengan pemberdayaan masyarakat melalui gerakan “membangun budaya malu”.

Pemberdayaan masyarakat melalui gerakan membangun budaya malu itu dimulai tokoh-tokoh masyarakat yang tergerak untuk memajukan kampung. Proses perubahan yang terjadi juga akibat adanya program corporate social responsibility (CSR) dari PT Sari Husada yang disebutnya sebagai akselerasi proses pemberdayaan yang diinisiasi para tokoh masyarakat.

Menurut Yuli (dikutip dari Tribunews), faktor utama yang mengubah masyarakat tidak lepas dari kemauan masyarakat itu sendiri dan dukungan pemangku kepentingan. Namun tidak semua kampug bisa menerapkan pemberdayaan model ini, karena karakteristik dan kondisi psikologis masyarakat di setiap wilayah berbeda-beda dan sangat tergantung dinamika masyarakatnya. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat, karena masalah sosial terlalu kompleks dan bergerak sangat dinamis.