Kandang Kebo, Bakti pada Leluhur dengan Cara Blusukan

Komunitas Kandang Kebo saat blusukan di Candi Barong, sebuah candi Hindu di tenggara kompleks Ratu Boko, Sleman (19/3) (sumber: dok. Kandang Kebo)

oleh: Nur Syafira Ramadhanti

Entah sudah berapa kali mereka bertemu nenek moyang dalam bentuk situs dan relik dari masa lalu. Mereka menyebut kegiatan ini blusukan. Mengunjungi tempat-tempat peninggalan bersejarah sudah bagaikan candu. Mereka adalah Komunitas Kandang Kebo.

Berawal dari perkumpulan di Facebook KANDANG KEBO Menapak Jejak Leluhur Nusantara Maria Tri Widayati mendirikan Komunitas Kandang Kebo pada 2016. Kandang Kebo merupakan komunitas yang berfokus pada pelestarian situs dan relik bersejarah.

Bermula dari keresahan melihat situs bersejarah yang banyak terbengkalai, Kandang Kebo mulai napak tilas peninggalan tersebut, mengedukasi warga, dan menginformasi dinas pemerintah terkait.

Hampir setiap malam anggota Kandang Kebo bertukar pikiran di Markas Ngalian, Widodomartani, Ngemplak, Sleman.

Sebagai satu-satunya komunitas di Yogyakarta yang berkonsentrasi pada situs-situs peninggalan bersejarah, Kandang Kebo rutin mengadakan kegiatan setiap tiga bulan sekali yang terbuka untuk umum. Kegiatan tersebut bisa berupa diskusi dan workshop dengan beragam tema dan blusukan akbar.

Peserta workshop biasanya tidak hanya dari Yogyakarta karena jaringan Kandang Kebo tersebar di seluruh Indonesia. Selain kegiatan rutin Kandang Kebo juga memiliki kegiatan yang sifatnya insidental.

“Misalnya ada teman dari luar kota yang memiliki potensi menjadi narasumber datang ke Yogya, kami adakan acara dadakan,” ujar Maria.

Selain kegiatan rutin tiga bulan sekali untuk umum Kandang Kebo juga memiliki kegiatan mingguan bagi para anggotanya. “Setiap hari minggu blusukan. Walaupun sudah pernah berkunjung secara pribadi, kami kadang datang lagi bersama-sama,” kata Achid Zamroji, salah satu anggota Kandang Kebo.

Semua kegiatan yang diselenggarakan memiliki tujuan untuk merawat sekaligus melestarikan situs peninggalan sejarah, serta mengedukasi warga agar lebih peduli pada peninggalan sejarah yang ada di sekitarnya.

Sampai saat ini Kandang Kebo memiliki 15 anggota tetap yang aktif dan rutin berkumpul, namun yang turut menganggap dirinya anggota Kandang Kebo tidak dapat dipastikan jumlahnya. Rata-rata anggota Kandang Kebo berumur 30-40 tahun. Mengenai dana operasional, Komunitas Kandang Kebo mengatakan saat ini masih swadaya dari para anggota.

Aktivitas di laman facebook Kandang Kebo.

Nama Kandang Kebo mengambil filosofi hewan kerbau yang disiplin dan bijaksana. Kerbau yang selama ini malah dianggap bodoh dan plonga-plongo dijadikan cerminan bahwa setiap anggota Kandang Kebo adalah orang bodoh yang mau belajar, tidak pernah merasa pintar dan haus akan pengetahuan.

Tahun ini Kandang Kebo mengawali kegiatan rutinnya dengan menggelar “Pelatihan Merancang Solusi Lokal untuk Pelestarian Warisan Budaya Lokal” Sabtu (10/03/18). Dilaksanakan di markas mereka di Ngalian, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, pelatihan ini dihadiri anggota komunitas yang merupakan peneliti, dosen, hingga ibu rumah tangga.

Pelatihan itu  dilanjutkan dengan blusukan akbar satu hari setelahnya. Dinamakan blusukan akbar karena diselenggarakan setiap tiga bulan sekali dan pesertanya tidak hanya anggota Kandang Kebo dari Yogyakarta.

Markas Kandang Kebo, tempat anggota berkumpul, berdiskusi, dan melakukan workshop.

Kandang Kebo sudah melakukan blusukan ke hampir seluruh wilayah di DIY dan sebagian Jawa Tengah. Ada banyak cerita menarik selama blusukan. Salah satunya pandangan negatif yang diterima dari warga sekitar.

“Kami sering dicurigai sebagai pencuri, selalu ada pandangan sinis dari penduduk ketika kami pertama kali masuk,” kata Teddy Pritasari, salah satu anggota Kandang Kebo. Ia juga mengatakan bahwa hal tersebut wajar dan menjadi kewajiban Kandang Kebo untuk memberi pemahaman sekaligus mengedukasi warga agar menjaga barang bersejarah karena seringkali hilang.

Selain hilang, barang peninggalan sejarah juga sering terbengkalai, bahkan ada sebuah Yoni yang dijadikan tempat sampah. Ketidakpedulian bukan hanya dari warga sekitar, namun juga dari warga pengunjung situs-situs terkenal.

Menurut Teddy warga khususnya kaum muda jarang sekali mau untuk mendalami peninggalan bersejarah. “Tidak pernah memperhatikan bagian-bagian candi, melihat lingga-yoni, memperhatikan ukirannya, ada bentuk ular, kura-kura. Itu yang harus diedukasi,”kata Teddy.

Kandang Kebo berharap nantinya akan muncul penerus-penerus muda, tidak hanya di wilayah Yogyakarta namun juga daerah-daerah lain. Dengan blusukan mereka berharap warga sekitar situs dapat mulai tergerak untuk merawat dan melestarikan, karena wargalah yang lebih mengerti.

Bagi Kandang Kebo, blusukan adalah hobi yang menjadi kewajiban agar terus terhubung dengan leluhur. “Kita menyambung benang merah antara kita di masa sekarang dan nenek moyang di masa dulu. Kita tidak tahu seperti apa mereka, tapi dengan terkontakkan begitu saja, kita sudah ada jalinan,” kata Maria.