Kebaya, Merangkul Waria dalam Sebuah Keluarga

Mami Vin (kiri) menceritakan bagaimana anggota Kebaya mengumpulkan uang sebesar Rp 10 juta per tahun untuk membayar biaya kontrakan rumah yang menjadi saksi perjuangan mereka.
Mami Vin (kiri) menceritakan bagaimana anggota Kebaya mengumpulkan uang sebesar Rp 10 juta per tahun untuk membayar biaya kontrakan rumah yang menjadi saksi perjuangan mereka.

oleh Ni Luh Putu Juli Wirawati

Rumah kecil bercat hijau di Jalan Gowongan Lor terlihat ramai pada Jumat (18/03) sore. Beberapa waria tengah duduk di balkon rumah sambil memegang rokok. Rumah kontrakan itu adalah tempat berkumpulnya waria yang tergabung di LSM Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya). Kebaya ingin merangkul seluruh waria di Yogyakarta dalam sebuah keluarga. Beragam tantangan muncul sejak berdirinya 10 tahun lalu, tapi  Kebaya tetap bertekad mengupayakan kesejahteraan para waria hingga sekarang. 

LSM Kebaya berawal dari sebuah kelompok kecil bernama Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Violet. Kelompok ini dibentuk oleh Vinolia Wadijo (60) pada 2005 karena dorongan dari dr. Yandri, seorang dokter di RS Sardjito yang peduli pada isu HIV/AIDS. Mami Vin, panggilan Vinolia, membentuk KDS Violet karena dihadapkan dengan permasalahan kesehatan terutama HIV/AIDS pada waria. Sebelum mendirikan kelompok ini Mami Vin adalah relawan di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.

KDS Violet awalnya hanya dikhususkan untuk waria yang positif mengidap HIV/AIDS. Setelah satu tahun berlalu, ada donor yang mengajak mereka untuk membuat sebuah lembaga yang mewadahi waria dan mengedukasi mereka. Hingga akhirnya pada 18 Desember 2006 terbentuklah LSM Kebaya dengan Mami Vin sebagai pelopor sekaligus direkturnya.

Mami Vin mengatakan, kegiatan utama Kebaya adalah memberikan pemahaman dasar tentang HIV/AIDS, seperti perilaku yang bisa menularkan HIV/AIDS dan cara pencegahan penularannya melalui penggunaan kondom. Selain itu, para waria juga nantinya diharapkan mau melakukan tes HIV/AIDS. “Susah mengajak mereka untuk melakukan tes, mereka takut jika mereka positif HIV,” kata waria berhijab tersebut.

Beberapa penghargaan yang dimenangkan oleh anggota Kebaya dalam perlombaan voli, busana, dan pawai.
Beberapa penghargaan yang dimenangkan oleh anggota Kebaya dalam perlombaan voli, busana, dan pawai.

Selain memberikan edukasi tentang HIV/AIDS, Kebaya juga melaksanakan kegiatan pemberdayaan ekonomi. Dalam kegiatan ini Kebaya bekerjasama dengan Dinas Sosial D.I Yogyakarta. Dinas Sosial memberikan kesempatan bagi waria untuk belajar langkah-langkah membuka sebuah usaha. Sekitar 200 orang waria turut berpartisipasi dalam kegiatan itu. Dari 200 orang tersebut hanya 10 orang yang berhasil membuka usaha, dua di antaranya telah memiliki warung di Bantul. “Susah membuat mereka mencari nafkah dengan membuka usaha, sebab mereka telah terbiasa mendapatkan uang secara instan dengan menjadi pekerja seks dan pengamen,” kata Mami Vin.

Keberadaan dan kegiatan yang dimiliki Kebaya mendapatkan respons positif dari dr. Kanila Sista (28) yang tengah menjalani pendidikan spesialis forensik di UGM. Dokter yang sering bekerjasama dengan Kebaya ini mengatakan bahwa keberadaan Kebaya sangat membantu dalam kampanye-kampanye kesehatan. Kebaya mengedukasi waria tentang kesehatan alat reproduksi, HIV/AIDS, dan penggunaan kondom.

Ia juga mengatakan bahwa Kebaya mengajarkan waria agar berperilaku baik. Sebelum adanya Kebaya, mereka sering bertutur kata yang kurang sopan dan memaksa orang untuk memberikan mereka upah mengamen. Namun setelah bergabung di Kebaya mereka mau bersikap lebih baik ke orang lain. “Kebaya tidak hanya mengedukasi tentang HIV/AIDS, tapi juga mampu membuat mereka memiliki sikap yang lebih baik,” kata dr. Kanila Sista.

Sebagai sebuah komitmen terhadap visi lembaganya, Kebaya juga menempelkan beberapa poster berkaitan dengan HIV/AIDS, anjuran meminum vitamin, serta menyediakan pamflet tentang penyakit menular dan kesehatan reproduksi.
Sebagai bentuk komitmen terhadap visi lembaganya, Kebaya menempelkan beberapa poster berkaitan dengan HIV/AIDS, anjuran meminum vitamin, serta menyediakan pamflet tentang penyakit menular dan kesehatan reproduksi.

Selain mengedukasi waria, Kebaya juga berhasil menghimpun seluruh waria yang ada di Yogyakarta. Sejak didirikan, ada sekitar 400 waria yang sudah bergabung di lembaga ini. Sebagian besar dari mereka adalah pendatang. Bahkan beberapa ada yang berasal dari Timor Leste dan Malaysia. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang besar dan hidup di jalan.

Salah satu waria yang bergabung di Kebaya adalah  Andi AM RR Gunady (55) yang berasal dari Sulawesi. Kedatangannya ke Yogyakarta pada 2004 silam memang telah direncanakan saat ia masih bekerja sebagai direktur di sebuah lembaga pelatihan di Bogor. Saat masih menjadi direktur, ia sudah  menjalin komunikasi dengan Mami Vin terkait pendirian lembaga ini. Sehingga, pada 2004 setelah tanggungjawabnya sebagai direktur selesai, ia langsung pergi ke Yogyakarta. Mami Ruli, begitu sapaannya, bergabung dalam lembaga ini karena baginya Kebaya adalah wadah persatuan dan pengorganisasian waria.

Setelah bergabung di Kebaya, ada sebuah perbedaan yang dirasakan oleh Mami Ruli. Hidup dalam komunitas waria baginya sangat berat karena ia harus hidup di jalan, menjadi pengamen, dan hidup dari hasil mengamen. Padahal sebelum  bergabung dengan Kebaya, Mami Ruli mampu mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Bahkan, ia sempat menjadi guru, anggota DPRD di Bone, serta direktur. Namun, ia menikmati kehidupannya dalam komunitas waria karena dengan itu ia bisa bersatu dengan waria lainnya.

Meskipun Kebaya telah berhasil mengedukasi dan menghimpun waria yang ada di Yogyakarta, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh lembaga ini. Tantangan yang paling utama adalah masalah pendanaan lembaga. Kebaya dulunya dibiayai oleh donatur, UN AIDS (United Nations AIDS), dan beberapa organisasi yang menekuni bidang yang sama. Namun, pembiayaan ini hanya berjalan selama empat tahun. Sejak 2010 mereka harus berdiri tanpa bantuan dana dari pihak manapun. “Pendanaan kini datang dari hasil yang saya dapat ketika menjadi pembicara,” ungkap Mami Vin.

Selain pendanaan, tantangan lain yang harus mereka hadapi adalah stigma masyarakat yang masih buruk tentang waria. Hal tersebut juga dikatakan oleh dr. Kanila Sista. Baginya masyarakat pada umumnya masih menganggap waria adalah orang yang berperilaku buruk. Tak hanya itu, ia juga menyatakan bahwa masyarakat banyak beranggapan bahwa pengidap HIV/AIDS yang paling banyak adalah waria. “Padahal HIV/AIDS juga banyak diderita oleh orang yang heteroseksual,” tuturnya.

Mami Ruli juga menyatakan hal yang senada. Baginya, banyak orang yang beranggapan bahwa waria adalah sebuah penyimpangan sosial, bersikap buruk, kasar, dan pedofil. “Itu sama sekali tidak benar, saya bisa memberikan testimoni tentang itu,” kata Mami Ruli.

Tantangan-tatangan tersebut tidak membuat anggota Kebaya menyerah untuk berjuang dan mempertahankan lembaga ini. Ketika pendanaan minim, mereka berusaha mandiri untuk menafkahi diri sendiri dan lembaganya. Meskipun stigma masyarakat masih buruk terhadap mereka, para waria tetap berusaha mendekatkan diri.

Pendekatan dilakukan melalui kegiatan sosial di masyarakat seperti membantu ketika ada bencana alam. Bantuan itu diberikan dalam bentuk pelayanan gratis seperti potong rambut dan membagikan baju bekas yang masih layak pakai. Melalui usaha itu Mami Ruli berharap agar stigma masyarakat berubah dan  tidak ada lagi diskriminasi terhadap waria. “Saya juga berharap pemerintah memberikan dukungan moril kepada para waria sehingga nantinya masyarakat mau menerima waria,” pungkasnya.