Kenali Buku Lewat Radio

Nur Qoidatun, penyiar Radio Buku, sedang menyiarkan program "Musik Senja" yang memutarkan musik-musik intrumental.
Nur Qoidatun, penyiar Radio Buku, sedang menyiarkan program “Musik Senja” yang memutarkan musik-musik intrumental.

oleh Tri Utami Rosemarwati

Suara seseorang sedang membawakan sebuah acara sayup-sayup terdengar ketika memasuki studio radio di Sewon, Bantul, Yogyakarta. Sore itu (18/3), Nor Qoidatun duduk di belakang meja kerjanya. Hanya dengan sebuah komputer dan dua mikrofon meja, program yang ia pandu sudah dapat mengudara. Sembari bersiaran, beberapa buku telah disiapkan di depannya. Qoidatun adalah satu dari sejumlah penyiar yang setia menyebarkan cinta mereka akan buku melalui radio. 

“Kalau ditanya kenapa memilih buku sebagai konsep utama Radio Buku, sama saja bertanya kenapa saya memilih istri saya, ya karena cinta,” kata Fairuzul Mumtaz, pengelola Radio Buku.

Berdiri pada 2006, Radio Buku merupakan sebuah radio komunitas yang bermarkas di Sewon, Bantul, Yogyakarta. Dari awal berdiri hingga sekarang, pendanaan di Radio Buku disokong oleh sebuah lembaga riset bernama Indonesia Buku. Tak hanya itu, Radio Buku juga mendapat pendanaan dari hasil berjualan buku karya anggota-anggotanya. Salah satu pendirinya, Muhidin M. Dahlan, saat ini juga sedang dalam proses penjualan buku barunya berjudul “Ideologi Saya adalah Pramis”.

Salah satu program andalan Radio Buku adalah “Angkringan Buku”, yang meresensi sebuah buku dari berbagai macam genre. Meskipun sebagian besar program membahas buku, masih terdapat program-program musik seperti radio lainnya. “Musik-musik yang diputar di sini bukan yang terbaru tapi yang klasik dan instrumental,” ujar Fairuz.

Radio Buku bersiaran dari pukul 13:00 hingga 22:00 WIB. Dalam satu hari, para penyiar dibagi dalam dua shift, yakni shift siang dan malam. Para penyiar tersebut memandu program-program yang ada dalam satu shift kerjanya. Saat ini, penyiar aktif Radio Buku hanya tujuh orang. Oleh karenanya, Radio Buku selalu melakukan regenerasi penyiar. Regenerasi ini dilakukan melalui perekrutan sukarelawan penyiar setiap tiga bulan sekali.

Menurut Qoidatun, selalu banyak orang yang mendaftar menjadi sukarelawan, tetapi radio hanya menerima sepuluh orang saja. Para volunteer tersebut akan mendapat pelatihan-pelatihan sebelum akhirnya mulai bersiaran.

“Setelah masa sukarelawan selesai, para sukarelawan bisa memilih lanjut bersiaran atau tidak. Kalau sudah begitu ya kita pakai proses seleksi alam,” kata Qoidatun, penyiar sekaligus mahasiswa Sastra Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Namun, Fairuz mengatakan Radio Buku tidak ambil pusing soal hal itu. “Kalau ada yang pergi pasti nanti ada yang datang lagi, saya meyakini hal itu,” kata Fairuz.

Selama sepuluh tahun berdiri, Radio Buku telah mengudara secara streaming. Saat ini, Radio Buku dapat didengarkan melalui situs resminya radiobuku.com, lewat aplikasi Tune In, dan aplikasi resmi Radio Buku Official Streaming di Android. Lewat internet pula, Radio Buku berhubungan dengan pendengarnya. Melalui akun Twitternya @RadioBuku, pendengar dapat menyampaikan request, tanggapan, ataupun kritik. Fairuz menjelaskan hal-hal tersebut merupakan keunggulan bersiaran secara streaming.

Selain itu, proses persiapan siaran streaming juga lebih mudah daripada radio konvensional. Ia mengatakan radio streaming tidak memerlukan izin yang merepotkan dan alat-alat yang besar. “Lagipula siapa sekarang yang punya radio kotak di kamarnya?” tutur pria berkacamata ini.

Menurut Qoidatun, pendengar Radio Buku saat ini cukup banyak. Apalagi, bersiaran secara streaming membuat pendengar Radio Buku tidak hanya yang tinggal di Yogyakarta saja melainkan di seluruh Indonesia. Bahkan ada salah satu pendengar dari Jawa Timur yang terinspirasi dengan Radio Buku dan mendirikan perpustakaan di sana.

“Salah satu pengelola perpustakaan itu sampai datang ke sini cuma untuk mengatakan hal itu,” kenang Fairuz. Bahkan, siaran streaming dapat didengarkan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri.

Hamzah Ibnu Dedi, salah seorang pendengar Radio Buku, berpendapat konsep yang diusung Radio Buku sangat baik. Hanya saja baginya, pembawaan acaranya kurang menarik. “Saya jadi cepat bosan,” ujarnya. Ia juga menyarankan publikasi Radio Buku perlu lebih digencarkan agar lebih banyak orang yang tahu. Jika bisa lebih digencarkan, Radio Buku dapat lebih efektif mengenalkan kepada masyarakat tentang dunia perbukuan.

Keresahan Hamzah tersebut dimaklumi Fairuz. Ia mengakui bahwa terkadang pembawaan program Radio Buku membosankan. Maka dari itu, ia beserta rekan-rekannya senantiasa berusaha memperbaiki diri. Terlepas dari persoalan tersebut, Fairuz berharap konsep Radio Buku dapat diterapkan di daerah-daerah lainnya. Ia mengaku tidak masalah jika konsep tersebut ditiru orang lain. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap buku. “Menyenangkan sekali kalau di Indonesia ini berterbangan ‘buku-buku maya,’” pungkasnya.