Slow Food Yogyakarta, Mengangkat Kembali Keberagaman Pangan Indonesia

Anggota Slow Food Yogyakarta bersama wartawan Austria. Sumber: facebook.com/SlowFoodYogyakarta

Oleh: Hasya Nindita

Dewasa ini, berbagai organisasi maupun komunitas yang bergerak dalam isu pangan sudah semakin marak, salah satunya adalah Slow Food Yogyakarta.

Slow Food Yogyakarta adalah organisasi yang mempromosikan pangan dan cara memasak lokal, sekaligus mengupayakan supaya lebih banyak orang bisa mengakses pangan yang enak, bersih, dan adil.

SFY merupakan bagian dari Slow Food International, organisasi nirlaba yang berdiri di Italia pada 1989 sebagai perlawanan terhadap fast food.

SFY sudah berumur lebih dari 5 tahun dan beranggotakan kurang lebih 40 orang. Anggotanya pun beragam, mulai dari petani, akademisi, ibu rumah tangga, hingga koki. Imma Rachmawati, pemerhati pangan sekaligus anggota SFY, mengungkapkan bahwa siapa pun bisa menjadi anggota SFY.

Secara umum, Slow Food memiliki tiga prinsip utama yakni good, clean, dan fair. Imma menjelaskan bahwa good artinya adalah makanan yang enak dan lokal. Selanjutnya, clean berarti bersih dari pencemaran dan unsur kimia. “Fair itu berkeadilan secara perdagangan maupun pada objeknya sendiri, seperti hewan ternak yang perlu diperlakukan secara adil,” jelas Imma.

Saat ini, Slow Food sudah tersebar di lebih dari 160 negara. Slow Food di masing-masing lokasi memiliki tujuan yang berbeda-beda, tidak terbatas hanya pada menentang fast food. Menurut Amaliah, salah satu koordinator SFY, SFY lebih bertujuan memberikan edukasi pangan kepada masyarakat.

“SFY melakukan pendidikan kepada masyarakat bahwa makanan yang paling baik adalah makanan yang ada di sekitar kita, berkesinambungan, ramah kepada alam dan adil terhadap harga,” ungkap Amaliah.

Amaliah menjelaskan, dalam SFY, pangan menjadi tanggung jawab semua orang. “Pangan menjadi satu isu tentang tanggung jawab semua orang bagaimana ia mandiri terhadap pangannya,” tutur Amalia. Mandiri terhadap pangan dalam hal ini berarti dapat memproduksi sendiri pangan yang dikonsumsi oleh diri sendiri. Hal ini dapat diwujudkan dengan memiliki kebun mandiri yang dikelola oleh masing-masing individu.

Slow Food percaya, pangan berhubungan dengan banyak aspek seperti budaya, politik, pertanian, dan lingkungan. Melalui jenis pangan yang kita pilih, kita bisa memengaruhi cara pangan diproduksi dan didistribusi, yang pengaruhnya bisa mengubah dunia

Selain itu, SFY juga mengedukasi mengenai keragaman dan kekayaan pangan Indonesia. Salah satunya adalah pisang yang jenisnya mencapai ratusan. Pisang menjadi salah satu keragaman pangan Indonesia yang perlu dilestarikan.

Pisang, salah satu keragaman pangan Indonesia (6/1/2018).

Amaliah menganggap edukasi pendidikan pangan merupakan hal yang penting karena kesadaran masyarakat akan hal tersebut masih sangatlah kurang. Menurutnya, masyarakat belum memiliki kesadaran akan pentingnya pangan mandiri maupun melestarikan keberagaman pangan Indonesia.

Secara umum, Slow Food sendiri memiliki berbagai program yang mendukung isu yang mereka angkat. Pertama yaitu The Ark of Taste, yang bertujuan mempertahankan makanan yang terancam punah. Ada pula Presidium, yang bekerjasama dengan produsen skala kecil untuk membantu menghadapi kesulitan yang ada. Selain itu, Slow Food juga memiliki program bertajuk Terra Madre yang merupakan acara makan bersama di seluruh dunia untuk mengapresiasi pangan hasil bumi.

Dalam kegiatannya, SFY juga berkolaborasi dengan berbagai institusi maupun organisasi lain. Salah satunya bekerjasama dengan Combine Resources Institution dalam acara Jagongan Media Rakyat (JMR) 2018. Kinan Aji, salah seorang relawan JMR 2018, mengungkapkan apresiasinya terhadap SFY sebagai salah satu gerakan peduli pangan.

Namun, Kinan menilai bahwa kegiatan yang dilakukan SFY khususnya di masyarakat masih kurang, sehingga edukasinya pun belum benar-benar tersampaikan. “Semoga kegiatannya bisa lebih banyak agar tujuan mengedukasi masyarakatnya bisa tercapai,” ucap Kinan.