Brown Canyon: Dari Tambang Rakyat jadi Tempat Wisata Merakyat

Pemandangan bebatuan di Brown Canyon yang menarik perhatian wisatawan (09/11/20)

Oleh Nurul Azizah

Terletak di Kelurahan Rowosari, Kecamatan Tembalang, Brown Canyon menyajikan pemandangan batuan apik yang digadang-gadang mirip dengan Grand Canyon di Amerika Serikat.

Pemandangan itulah yang menarik perhatian wisatawan, terutama bagi mereka yang senang dengan fotografi. Bebatuan Brown Canyon yang jarang ditemui menjadi latar belakang yang menarik untuk gambar yang mereka ambil.

Namun jarang pengunjung tahu bahwa bebatuan tersebut dibentuk bertahun-tahun oleh aktivitas tambang tanah padas yang masih berlangsung sampai kini.

Tambang tanah padas ini mulai dikenal sebagai tempat wisata sekitar lima tahun terakhir. Tidak diketahui secara jelas bagaimana tambang ini mulai dikenal sebagai Brown Canyon oleh masyarakat. Tetapi, melekatnya nama Brown Canyon pada tambang tanah padas ini memberikan banyak dampak pada aktivitas penambangan. Mulai dari munculnya keramaian yang menghalangi gerak pekerja tambang hingga potensi pariwisata yang dapat dijadikan solusi jangka panjang bagi pekerja.

Salah satu wisatawan, Thoriq (18), datang dari Bangetayu Wetan, Semarang yang berjarak kurang lebih 10 km dari Brown Canyon. Ini merupakan kali kedua ia menyambangi Brown Canyon. Pemandangan yang indah dan unik membuatnya ingin mengabadikan lebih banyak gambar berlatar belakang bebatuan di Brown Canyon.

“Tempat ini unik menurut saya karena terbentuk oleh aktivitas manusia, bukan bentukan alam. Dari proses bertahun-tahun itu malah membentuk sesuatu dengan pemandangan indah seperti ini,” kata Thoriq.

Brown Canyon pada awalnya adalah sebuah tambang rakyat yang diolah secara sederhana oleh masyarakat sekitar. Hampir 90% dari penduduk yang berada di sekitar area tambang mengandalkan tambang rakyat sebagai sumber kehidupan mereka. Dimulai sekitar tahun 1971, penambangan saat itu masih menggunakan peralatan tradisional.

Sukarjo, Penanggungjawab Lapangan Tambang, bercerita bahwa kegiatan penambangan pada saat itu memakan banyak korban karena keselamatan pekerja kurang diperhatikan. Sehingga, alat berat seperti truk dan beko mulai masuk untuk membantu. Selain untuk meningkatkan produktifitas penambangan, masuknya alat berat juga ditujukan untuk mengurangi risiko yang mengancam keselamatan pekerja.

Alat berat yang digunakan dalam aktivitas pertambangan di Brown Canyon (18/11/20)

Sepanjang perjalanan menuju lokasi Brown Canyon, calon wisatawan pasti akan berpapasan dengan truk-truk bermuatan tanah dan pasir. Tidak jarang terdapat material yang jatuh dan membahayakan keselamatan. Akses jalan ke Brown Canyon pun bukanlah jalan beraspal, melainkan jalan tanah sederhana yang terkadang berlubang dan penuh lumpur di hari hujan.

Wisatawan bisa masuk ke Brown Canyon tanpa pungutan biaya, bahkan tidak ada biaya parkir di tempat ini. Namun, itu berarti keselamatan wisatawan yang datang juga merupakan tanggung jawab masing-masing.

Meningkatnya intensitas kedatangan wisatawan ini berpengaruh pada kegiatan penambangan. Seringkali masyarakat yang datang berfoto pada area-area yang membahayakan. Pekerja serta pengelola tambang seringkali perlu mengingatkan wisatawan agar tidak berada terlalu dekat dengan area yang rawan. Juga agar menepi ketika alat-alat berat akan lewat. Tetapi terkadang, wisatawan tidak mengindahkan peringatan yang diberikan.

Sukarjo menyatakan bahwa wisatawan terkadang merasa mereka hanya akan berfoto dan itu tidak berbahaya. Padahal, mereka tidak mengerti kontur tanah yang mereka pijak itu seperti apa.

“Kami paham dan maklum ketika ada yang ingin berfoto di spot-spot tertentu karena latarnya bagus, tapi kalau sampai terjadi apa-apa kan kami juga yang repot,” jelas Sukarjo.

Aktivitas pariwisata yang mendadak muncul ini meski terkadang mengganggu, memberikan inspirasi bagi pengelola tambang. Potensi yang ada pada Brown Canyon dapat dimanfaatkan untuk menyambung hidup masyarakat sekitar ke depannya. Sukarjo bersama rekan-rekannya telah memiliki perencanaan jangka panjang untuk membuka Brown Canyon sepenuhnya sebagai tempat wisata dalam jangka waktu 4 tahun ke depan. Hal ini dikarenakan material tambang diperkirakan akan habis dalam 5-6 tahun mendatang.

“Kami harus berpikir ke depan, kalau nanti sudah material sudah habis mau ke mana mereka yang selama ini bekerja di sini mencari nafkah?” kata Sukarjo.

Perencanaan ini sudah ditata secara matang, bahkan telah mengantongi izin dari dinas-dinas terkait. Rencana ini juga disambut baik oleh warga sekitar, mereka menyatakan mendukung rencana alih fungsi Brown Canyon menjadi tempat wisata sepenuhnya. Bahkan, beberapa memberikan ide untuk membuka warung makan di tempat wisata nantinya. Dari pihak pengelola tambang sendiri mulai lebih banyak memperhatikan lokasi penambangan untuk membentuk kontur tanah yang aman namun menarik bagi wisatawan nantinya.

“Dulu kami mengeruk dengan serampangan, tapi setelah dikaji ulang jadi berpikir juga. Kalau mengambil materialnya asal-asalan nanti setelah selesai tidak bisa dibuat apa-apa lagi,” kata Sukarjo.

Pengunjung Brown Canyon, Akbar (20), berpendapat bahwa ide untuk menjadikan Brown Canyon sebagai tempat wisata sepenuhnya merupakan hal yang bagus. Brown Canyon dianggap potensial karena memiliki keunikan tersendiri. Hanya saja, masih banyak yang perlu diperbaiki agar dapat menjadi tempat wisata yang mumpuni.

“Perbaikan akses jalan dan penambahan fasilitas sepertinya perlu menjadi fokus utama apabila ingin dijadikan destinasi wisata. Juga jaminan mengenai keselamatan pengunjung,” kata Akbar.

Brown Canyon saat aktivitas pertambangan telah usai (18/11/20)

Sembari menunggu Brown Canyon dibuka penuh sebagai tempat pariwisata, wisatawan yang ingin berkunjung dapat memerhatikan beberapa hal. Seperti untuk datang pada jam-jam aktivitas tambang telah usai yaitu pukul 4 sore pada hari Senin hingga Sabtu. Wisatawan juga dapat berkunjung di hari Minggu karena aktivitas tambang hanya berjalan setengah hari. Ketika berkunjung, wisatawan juga diharapkan awas terhadap imbauan-imbauan yang diberikan agar keselamatan tetap terjaga.

Catatan redaksi: Pada masa pandemi, banyak mahasiswa Dikom UGM yang menjadi jurnalis Warga Jogja tidak berada di Yogyakarta. Ini adalah salah satu liputan yang mengangkat cerita dari kota tempat mereka tinggal saat ini, daerah asal mereka.