Kacaunya Parkir di Wisata Malam Alun-Alun Selatan

Larangan pemakaian badan jalan di kawasan Alun-Alun Selatan yang diabaikan. Badan jalan dan trotoar digunakan untuk parkir dan berjualan.
Larangan pemakaian badan jalan di kawasan Alun-Alun Selatan yang diabaikan. Badan jalan dan trotoar digunakan untuk parkir dan berjualan.

Oleh Ellyta Rahmayandi

Kacaunya pengelolaan parkir kawasan wisata malam Alun-Alun Selatan mengganggu pemandangan dan pemakai jalan. Ratusan motor dan mobil pengunjung terparkir di tempat yang tidak memadai dan cenderung menganggu di kawasan ruang terbuka publik tersebut.

Jejeran motor dan mobil akan menyambut pengunjung wisata malam Alun-Alun Selatan Keraton Yogyakarta. Objek wisata malam Alun-Alun Selatan atau Alkid yang tidak memiliki kantong parkir memadai  membuat petugas parkir terpaksa mengatur kendaraan pengunjung di pinggir-pinggir lapangan dan trotoar jalan sekitar alun-alun. Jejeran kendaraan tersebut tidak sedikit yang sampai memakan badan jalan sehingga menganggu aktivitas pemakai jalan.

Keharusan pengunjung untuk membayar parkir tidak dibalas dengan pelayanan parkir yang standar. Dengan tiket parkir seharga Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil, pengunjung harus rela kendaraannya diparkir secara berdempetan dengan kendaraan lain.

“Sangat kaget saat baru pertama kali datang ke sini, padat sekali (pengunjungnya). Susah cari parkir dan harus rela mobil saya terparkir di pinggir lapangan padahal sudah bayar,” kata Nur (21), pengunjung asal Jakarta.

Jejeran odong-odong khas Alun-Alun Selatan. Jika sedang tidak disewakan, odong-odong ini diparkirkan di pinggir jalan dan cukup memakan badan jalan.
Jejeran odong-odong khas Alun-Alun Selatan. Jika sedang tidak disewakan, odong-odong ini diparkirkan di pinggir jalan dan cukup memakan badan jalan.

Peraturan parkir Alun-Alun Selatan yang kurang jelas penanggungjawabnya juga menjadi masalah dalam pengelolaan objek wisata ini. Kawasan yang termasuk dalam halaman belakang Keraton Yogyakarta ini merupakan tanah milik keraton yang dikelola oleh masyarakat sekitar sebagai ruang terbuka publik.

“Pengelolaan Alun-Alun Selatan dilakukan oleh pemuda desa sekitar dengan pengawasan pihak Keraton. Terdapat organisasi perkumpulan pengusaha yang membuka usahanya di kawasan Alun-Alun Selatan dari mulai pengusaha angkringan, odong-odong, hingga petugas parkir, namanya Paparazi. Di organisasi itu, penggiat usaha di Alun-Alun Selatan bekerja sama dengan pemuda desa untuk mengelola alun-alun selatan,” kata Madon (23), perwakilan dari Paparazi.

Madon juga menjelaskan bahwa Paparazi merupakan pihak perantara bagi masyarakat dan pengusaha yang ada di Alun-Alun Selatan. Paparazi juga menjadi pihak yang mengatur pembagian lahan usaha dan lahan parkir di kawasan Alun-Alun Selatan. Setiap wilayahnya merupakan hak milik masing-masing.

“Lahan parkir ini milik saya, lahan parkir sebelah milik orang lain. Keuntungannya diambil sendiri dengan ketentuan potongan untuk kas pemuda desa guna pengelolaan Alun-Alun Selatan,” lanjut Evantoro (45), petugas parkir mobil bagian utara Alun-Alun Selatan.

Alun-Alun Selatan yang dianggap semrawut juga diakui oleh pengunjung yang datang. Hajid (19) Pengunjung asal Bandung mengakui tidak nyaman dengan kawasan wisata Alun-Alun Selatan yang terlalu ramai.

“Ramai sekali dan tidak teratur. Jalan selebar kurang lebih lima meter diisi oleh kendaraan yang parkir, odong-odong, dan pejalan kaki. Mau jalan di trotoar pun sulit karena penuh dengan penjual makanan dan minuman,” protesnya.

Kurang jelasnya peraturan dan pengelolaan bagi kawasan terbuka publik Alun-Alun Selatan harusnya menjadi sorotan Dinas Pariwisata Yogyakarta.

“Paparazi sudah meminta adanya pengelolaan Alun-Alun Selatan yang didukung oleh pemerintah. Sudah ada respons, namun belum jelas kepastiannya,” pungkas Evantoro.