Belajar Berbahasa Indonesia Melalui Puisi Seketika

Oleh: Dewi Setiawati

Thoyib Norcahyo membuat Puisi Seketika di Warung Sage pada 12 Maret 2018

Puisi Seketika adalah karya sastra yang dibuat secara langsung di lokasi dan menggunakan mesin tik. Thoyib Norcahyo, penggagas Puisi Seketika, berusaha mengajak masyarakat untuk membudayakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar lewat puisi yang dibuatnya.

Puisi Seketika dibuat oleh Thoyib Norcahyo untuk pelanggan langsung di lokasi. Pelanggan mengisi kertas yang berisi identitas diri dan tema puisi yang akan dibuatkan. Thoyib Norcahyo langsung membuat puisi sesuai pesanan pelanggan.

Ide Puisi Seketika bermula dari Thoyib Norcahyo yang dimarahi ibunya karena membeli mesin tik. Thoyib Norcahyo lantas menemukan cara agar mesin tik dapat menghasilkan uang tanpa dijual. Pada FKY Juli 2017, Thoyib Norcahyo membuka Puisi Seketika untuk pertama kalinya. Di luar dugaan, Puisi Seketikanya diminati oleh 300 pelanggan.

Puisi Seketika hadir di berbagi tempat seperti festival, pasar malam, dan lainnya. Thoyib Norcahyo memasang tarif murah untuk Puisi Seketika yang dibuat di acara tersebut. “Cukup Rp 5.000,- atau seikhlasnya,” katanya.

Pada Maret 2018, Thoyib Norcahyo mengadakan tur lintas kecamatan bertema “Pangasong Kata Bersafari Dalam Kota #1.” Tur diadakan di lima tempat yaitu Kedai Wedangan (Sabtu, 3 Maret 2018), Museum Pergerakan Wanita Indonesia (Kamis, 8 Maret 2018), Kedai Rukun (Sabtu, 10 Maret 2018), Sage Yogyakarta (Senin, 12 Maret 2018), dan Angkringan Adul Dulit (Jumat, 16 Maret 2018).

Saat ditemui di Warung Sage, Thoyib Norcahyo mengaku akan membuat buku “Pangasong Kata Bersafari Dalam Kota #1.”  Buku itu berisi puisi-puisi yang dia buat selama tur antar kecamatan. Thoyib Norcahyo tidak akan berhenti berkarya sampai akhir waktu.

Ekspresi Aura Rahmadika, pelanggan Puisi Seketika saat membaca puisi yang dibuat Thoyib Norcahyo

Dalam tur ini pengunjung dibuatkan puisi gratis. “Saya memang suka puisi. Puisi Seketika berjudul ‘Mencari Api’ yang dibuat Thoyib Norcahyo sesuai dengan perasaan saya,” kata Aura Rahmadika, pengunjung Warung Sage.

Kepuasan Thoyib Norcahyo adalah ketika dia dapat melihat reaksi dari pelanggan puisi seketika. Ada yang tertawa, tersenyum, bahkan menangis. Pelanggan sering menyangka Thoyib Norcahyo dapat membaca pikiran.

Laki-laki paruh baya pernah meminta dibuatkan puisi untuk ibunya yang sudah meninggal. Puisi itu bertema kepasrahan karena belum bisa membahagiakan ibu. Laki-laki tersebut menangis setelah membaca puisi yang dibuat oleh Thoyib Norcahyo.

Mayoritas pelanggan adalah perempuan. Pelanggan berasal dari penyuka dan bukan penyuka puisi, tetapi ingin dibuatkan puisi.

Thoyib Norcahyo menjalankan Puisi Seketika ini secara Napoleon atau dari ligkungan sekitar. Dia memulainya dari orang orang terdekat. Thoyib Norcahyo membuat puisi lalu meminta pendapat teman atau keluarganya. Jika ada yang kurang, dia akan memperbaiki. Setelah itu, dia baru berani membuat untuk orang lain.

Thoyib Norcahyo, seorang guru SD lulusan Pendidikan Seni Rupa UNY, melihat kondisi anak-anak zaman sekarang yang minim dengan literasi bahasa Indonesia. Keadaan anak-anak sangat memprihatinkan. Orang tua lebih sering memberikan anaknya  gawai daripada membacakan dongen ketika mau tidur. Padahal, dongeng dapat memacu daya imajinasi dan mendekatkan batin anak pada Ibu.

Anak-anak atau remaja minim dengan Bahasa Indonesia yang sesuai EYD. Ditambah, lagu anak-anak sudah tidak ada lagi yang memproduksi. Sehingga, anak-anak mengkonsumsi lagu dewasa, misalkan dangdut. Puisi diharapkan mampu membangun kembali Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Pernah ada orang asing yang meminta dibuatkan puisi menggunakan bahasa Inggris. Thoyib Norcahyo menolak karena Bahasa Indonesia adalah ciri khas puisinya.  Akhirnya, Thoyib Norcahyo tetap membuatkan puisi menggunakan Bahasa Indonesia. Lalu, temannya membantu orang asing tersebut untuk memahami puisinya.

Thoyib Norcahyo berharap dengan Puisi Seketika, Bahasa Indonesia yang baik dan benar bisa terus dibudayakan.

(Editor: Dina Rizky/ *)