Mengonsolidasi Petani Guna Meraih Pasar Kopi

Tanpa dibudidayakan, pohon kopi dapat tumbuh alami di sekitar area pemukiman warga Turgo (21/02).

oleh: Nur Mahfudh

Meski panen melimpah, pendapatan para petani kopi seringkali hanya kecil. Untuk menaikkan posisi tawar, mereka membentuk Asosiasi Petani Kopi Kabupaten Sleman pada 2002.

Dulu, pemasukan yang didapat para petani tidak seberapa. Kopi robusta segar dihargai Rp 1.000,00/kg, sedangkan untuk varian arabika Rp 3.000,00/kg. Kondisi tersebut menggerakkan Sumijo, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kopi Merapi, untuk mengadakan pertemuan dengan para petani. Pertemuan tersebut menyepakati pembentukan Asosiasi Petani Kopi Kabupaten Sleman pada tahun 2002, yang kemudian membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB).

Selain untuk mempererat solidaritas petani kopi, KUB diharapkan mampu menaikkan nilai tawar petani kopi. Alhasil sejak tahun 2007, harga kopi mereka naik menjadi Rp 5.000,00/kg untuk Robusta dan Rp 6.000,00/kg untuk Arabika setelah petani menjual hasil panen kepada KUB.

Di awal-awal berdirinya, KUB mendapat banyak kendala. Salah satunya saat KUB menerima permintaan ekspor kopi ke Amerika. Tanpa pikir panjang KUB menyatakan kesanggupannya. Pada perjalanannya, KUB tidak memiliki stok kopi yang cukup. Mereka terpaksa membeli kopi dari petani daerah Klaten dan Wonosobo. Hasil pengolahan yang berbeda di tiap wilayah menjadikan importir menghentikan permintaan. Hal tersebut mengakibatkan KUB merugi. Mulai saat itu KUB memilih menjual ke pasar dalam negeri saja.

Hingga saat ini Asosiasi Petani Kopi Kabupaten Sleman memiliki anggota 1.200 petani. Jumlah tersebut hanya sekitar setengah dari seluruh petani. Meski banyak yang belum menjadi anggota, KUB tidak membedakan pelayanannya antara anggota dan non anggota. Yang membedakan antara anggota dan non anggota hanyalah pembagian Sisa Hasil Usaha dari KUB.

Pasca erupsi pada 2010, petani lereng Gunung Merapi terus berupaya memulihkan sentra budidaya kopi. “Saat ini kami tengah menyiapkan sekitar 1,6 hektare untuk ditanami bibit buah-buahan yang diproyeksikan menjadi suatu ekowisata,” kata Sumijo (21/02).

Meski baru dipanen bulan Oktober silam, beberapa pohon kopi sudah kembali berbunga (21/02).

Sebelum erupsi 2010, daerah Petung adalah sentra wisata kebun kopi. Hingga kini, para petani masih terus mengupayakan supaya Petung dapat kembali menjadi wisata kebun kopi.

Ancaman erupsi Merapi tidak terlalu dikhawatirkan Sumijo. “Erupsi besar hanya terjadi ratusan tahun sekali. Yang sering terjadi saat ini hanyalah erupsi kecil,” katanya. Ia mengatakan, erupsi skala kecil justru akan menguntungkan petani karena abunya dapat menyuburkan tanah.

Melihat kegigihan para petani, Kepala Bidang Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Sleman Siti Rochayah mengatakan, pihaknya mendorong petani untuk terus memaksimalkan produksi dengan melakukan penyegaran tanaman. Penyediaan pupuk serta bibit  juga terus ditambah agar petani tidak kesusahan mencari suplai bibit. Selain itu DPPK juga terus memperkenalkan produksi Kopi Merapi ke masyarakat umum, seperti dengan pameran hasil produksi.

Kebun kopi yang ada di Sleman tersebar di lereng utara Merapi, seperti di Turi, Bukit Turgo, Kaliurang dan daerah Ngipik Sari. Tanaman kopi di lereng Merapi sudah ada sejak zaman kolonial dan diwariskan kepada anak-cucu untuk digarap.

Varietas yang ditanam para petani di lereng Merapi adalah robusta dan arabika. Namun biji robusta menjadi pilihan utama karena dirasa sesuai dengan kondisi geografis kebun mereka.

Sugiman, petani yang memiliki lahan paling luas di lereng merapi, menjelaskan robusta di kebunnya telah memasuki masa panen pada awal Oktober silam. Pohon yang telah berumur tiga setengah tahun itu memberikan hasil yang cukup memuaskan. Menggunakan Lamtoro sebagai penaung, hampir seluruh pohon menghasilkan biji kopi yang merah. Bahkan meski baru saja menghadapi musim panen, beberapa pohon robusta sudah kembali berbunga.